Rabu, 29 Oktober 2014

You're Always Been 'There'

Bukan sekali ini aku melihatmu berganti baju didepanku, seolah kau tak tahu bahwa aku duduk di belakangmu. Bahu dan punggung tegapmu seolah menyiratkan kepadaku bahwa kau sosok wanita yang tegar, balutan bra hitam kesukaanmu seolah membungkus rapat tiap misteri dalam tiapperjalanan hidupmu.
Kupikir, saat-saat seperti inilah saat-saat aku menikmatimu dengan seluruh indraku. Saat dimana kau mulai melepas bajumu dihadapanku. Meski kau berbalik dan berdiri jauh dariku, aku masih dapat menikmati lekuk tubuhmu dan merasakan hangatnya sentuhan kulitmu. Meski peluh membasahimu, wangi tubuhmu tetap tercium hidungku hingga menyentuh bagian terindah dalam memoriku.
Sejenak kau menoleh ke arahku. Mungkin hendak memastikan apakah aku menatap lekat tubuh dewasamu.
Sembari kau memakai kaos hitam kesukaanmu, kau berkata kepadaku, "Happy Birthday!!".
"Tak terasa ya, sudah banyak ulang tahun yang kita lewati bersama. Dan kita masih bisa saling mengucapkannya."
"Aku selalu merasa beruntung dapat mengucapkan syukur karena selalu ada kesempatan untuk kita saling jaga", sambungmu.

Aku menghela nafas sejenak ketika kau mulai berdiri dihadapanku. Kutundukkan kepalaku. Aku mulai berpikir bahwa memang benar waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa memang bahwa sepuluh tahun ini telah kita lewati bersama. Berbagai macam peristiwa pun telah hadir diantara kita namun tetap saja aku merasa beruntung karena kau tetap berada bersama denganku, hingga detik ini.
"Hei, apa yang kau pikirkan?"
"Kau selalu memikirkan banyak hal bahkan hingga ke sesuatu yang sangat jauh. Pikiranmu terlalu liar. Tapi mungkin itu yang membuat kita bersama."
"Kali ini akuingin berdoa untukmu.."
"Bapa, semoga apa yang dia mimpikan sejalan dengan apa yang Kau siapkan buat dia. Kalaupun ternyata berbeda, semoga pria dihadapanku ini Kau beri iman yang kuat seiring perjalanan ini sehingga bisa senyum selalu."

Aku sedikit tersenyum mendengarnya. Kurasa, pada bagian ini, Bapa sudah mulai mengabulkan doamu.
"Iman yang kuat.", kataku dalam hati.
Mungkin itu yang kubutuhkan. Aku akan kembali jauh darimu. Perjalananku belum selesai dan aku harus kembali untuk meninggalkanmu.
Kurasa, aku memang membutuhkan iman yang kuat untuk tetap mengingatmu seperti aku mengingat Bapaku. Iman yang dimana ketika kita jauh, aku tetap dapat mempercayaimu dan mengandalkanmu. Serta, iman yang dimana ketika kita bersama, seperti saat ini, kita dapat mencurahkan kerinduan dan segala curahan hati kita tanpa melanggar prinsip yang kita bangun bersama.

Aku teringat ketika kita pernah membahas antara tabu dan sakral. Kita berdua memang bisa berbicara apapun tanpa takut melanggar sesuatu karena tidak ada hal yang tabu bagi kita. Namun, di atas dari hal-hal yang tabu itu, kita masih tahu bahwa ada hal yang sakral. Hal yang sakral inilah yang tidak dapat kita langgar.
Ya, kurasa kita tetap membutuhkan iman yang menjaga kita tetap utuh seperti saat ini meski banyak hal yang tabu bagi masyarakat kita yang telah kita acuhkan.

"Thank you for being a friend and a brother, who's always been 'there', who scolds when I'm wrong, ho smiles when I'm happy, who always thinks and cares about me no matter where."
"Thank you for being you", ucapmu sembari kau mendekat dan memeluk erat kepalaku

Pelukanmu serasa menjalar hingga ke nadiku.
Aku merasakan kehangatan yang sangat amat, seolah pelukanmu menjadi perisai yang dapat melindungiku dari ketakutan-ketakutan yang sering menghampiriku.
Aku tahu bahwa terkadang aku terlalu memikirkan banyak hal hingga kemungkinan terkecil sekalipun. Hingga aku merasa terus khawatir mengenaimu.
Namun, kali ini, semuanya seolah lenyap dari ingatanku. Remasan jarimu pada rambutku seolah memberikan kata bahwa kau adalah wanita yang cukup layak untuk kupercayai.
Harum perutmu yang tepat berada di penciumanku memberikan sedikit rasa damai dalam jiwaku. Mungkin damai ini yang selalu membuatku merasakan bahwa kita selalu berada di jalan yang sama, jalan kebenaran.

Jalan kebenaran yang selalu kita impikan. Aku tahu bahwa terlalu sulit jalan yang ada di hadapan kita. Namun, aku tahu juga tahu bahwa jalan sesulit apapun takkan berarti bagi kita selama kita masih punya harapan. Harapan yang selalu membuat kita merasakan bahwa kita tak pernah sendiri dan tak pernah ditinggalkan sampai kapanpun.


Hasratku kembali mencuat ketika kau dekatkan wajahmu dihadapanku.
Lirih kudengar kau berkata, "Hope God always shower you with blessing in every aspect of your life."
"Be still. Aku tahu bahwa Tuhan selalu menjagamu.", ucapmu sambil tersenyum.

Aku tahu aku selalu berhasrat ketika melihat sosok wanita dihadapanku. Namun, kau berbeda. Aku tak pernah berhasrat kepadamu, tak ada nafsu yang menggebu, meski kau seringkali memperlihatkan lekuk tubuhmu kepadaku. Kurasa kau tahu itu.
Kupikir, aku hanya punya rasa sayang yang terlalu sangat kepadamu. Kalaupun suatu saat aku harus menjamahmu, aku ingin bahwa jamahan sayang yang terjadi, bukan jamahan yang penuh dengan nafsu yang tak terkendali,
Dan kali ini aku semakin mengerti bagaimana Tuhan menjagaku, dan menjagamu.

"Semoga kau juga selalu ingat, walau kita terpisah jarak dan waktu, walau terkadang tampaknya aku tak dapat dijangkau, aku selalu ingat kamu dan selalu berdoa buatmu.", ucapmu sambil tersenyum manis.

Ya, aku tahu. Dan akupun ingin kau tahu bahwa kau selalu kuingat dan kusebut dalam doaku. Aku tak pernah berhenti memikirkanmu.
Mungkin doa kita itulah yang selalu menjangkau kita.
Kita yang terhilang masing-masing selalu dapat menyatu dalam sebuah tangan yang menggenggam. Kuharap genggaman sebuah doa dapat terus menjadi kekuatan batin diantara kita, meski raga kita tak bertemu.
Kupikir aku juga merupakan pria yang beruntung. Di saat banyak pria berada di sekitarmu dan terkadang membuatku cemburu, namun ternyata merekalah yang seharusnya cemburu karena bagaimanapun namakulah yang selalu kau simpan dalam hati dan dalam tiap doamu.

Sejenak aku tersenyum. Bahagia dan rasa damai menyelimutiku.
Kukecup indah parasmu dan berkata tepat di telingamu, "Thanks.. You are also always been 'there'."


Bandung, 27.10.2014
-Thanks, God.You're always been 'there' for us..-

Senin, 18 Agustus 2014

Kami Tahu Hatimu..

Dirgahayu RI ke-69!!!

Bukan sesuatu yang mudah untuk mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan yang berjuang bagi bangsa ini. Mudah mengucapkannya namun terlampau sulit ketika kita mengingat bahwa pengorbanan mereka terlampau besar untuk kita bayarkan dengan ucapan 'terima kasih'.

Jika ada kata yang lebih dalam maknanya dari 'terima kasih', itulah kata syukur. Mungkin kata itu yang dapat menggambarkan kekuatan besar yang hadir untuk melahirkan republik ini. Kekuatan yang didalamnya terdapat keringat, darah, dan air mata dari tiap anak bangsa. Yang dahulu kita tak pernah tahu dia siapa dan darimana namun tetap bersatu dan bersama-sama berjuang, meski terkadang ada kata 'khianat' diantaranya. Kekuatan yang tak pernah menyurutkan arti kata 'berjuang' dan 'semangat'. Kekuatan yang menjadikan perbedaan ide tak menjadi perbedaan yang memisahkan namun malah menjadi alat pemersatu. Kekuatan yang mematahkan sumbu persatuan dengan menyingkirkan khianat didalamnya. Kekuatan besar itu bukanlah mitos karena hasil daripadanya adalah negeri ini yang didalamnya kita terkandung.

Terkekang selama berpuluh tahun dan terobrak-abrik selama bertahun setelahnya, membuat kami tak kunjung melihatnya lagi. Kami rindu kekuatan itu kembali ada bersama kami. Kami tidak ingin hanya disuguhi aneka ragam atraksi unjuk kekuatan tanpa terkandung kekuatan sebenarnya didalamnya. Kami ingin bahwa kekuatan yang sama sewaktu dulu juga menggerakkan pikiran kami, hati kami, perkataan kami, dan tindakan kami saat ini.

Dan sampai saat kami menyadari bahwa kekuatan itu sebenarnya tak pernah hilang. Dia yang tak terlihat selama sekian masa bukanlah hal tak ada. Tak selamanya yang tak kita lihat itu berarti tidak ada. Meski tak terlihat, dia tetap tersimpan di tempat terdalam pada jiwa kita. Kekuatan besar itu masih tersimpan di dalam kita. Bukankah kau masih merasa risih dan jengah atas ketidakadilan selama ini? Bukahkah kau merasa terganggu saat melakukan salah dan kebohongan bagi sesamamu? Bukankah kau merasa bersalah ketika yang seharusnya menjadi alat pemersatu malah menjadi alat pemisah? Dan, bukankah kau merasa terganggu ketika kau menjadi khianat atas bangsa dan sesamamu?

Kita hanya perlu menyimpannya rapat-rapat dan semakin membawa apa yang kita inginkan terkubur dalam-dalam. Atau, kita dapat memulai untuk menggerakkan kekuatan itu. Membuka kembali jiwa kita yang memendamnya dan merajutnya satu sama lain bersama-sama. Kekuatan yang besar dari tiap kita dapat menjadi kekuatan tak terkalahkan untuk mewujudkan impian kita. Impian dimana kemerdekaan adalah merdeka dalam kondisi yang sesungguhnya, meski terkadang utopia dalam proses pembelajaran kita. Mimpi kita untuk melihat bangsa ini bersatu dan maju tak pernah hanyut terhilang oleh waktu, dia hanya menunggu kita, sebagai anak bangsa, untuk bergandengan tangan dan berjuang bersama. Aku percaya bahwa tiap dari kita masih menyimpan hati untuk bangsa ini. Hati yang penuh dengan kekuatan besar itu.


Syukur untuk setiap rencanamu
Dan rancanganmu yang mulia
Dalam satu tubuh kami bersatu
Menjadi duta kerajaanmu

Kuucapkan berkat atas Indonesia
Biar kemuliaan Tuhan akan nyata

Kami indu melihat Indonesia
Pulih dari semua problema
Hidup dalam jalan kebenaranmu
Pancarkan terang kemuliaanmu

Kuucapkan berkat atas Indonesia
Biar kemuliaan Tuhan akan nyata

Bagi bangsa ini, kami berdiri
Dan membawa doa kami kepadamu
Sesuatu yang besar pasti terjadi
Dan mengubahkan negeri kami

Hanya namamu Tuhan ditinggikan
Atas seluruh bumi

Kami tahu hatimu ada di bangsa ini..

(True Worshippers)

Rabu, 02 Juli 2014

Kita Tak Bisa Berhenti Sekarang, Kawan..

Memahami mata yang kaupejam
adalah pulau yang jauh di ufuk timur
Matahari.. matahari..
Oo.. Oo..

Kita yang masih bertani
Berdiri menatap matahari
Menitip mati, Melumat sepi
Esok pagi. Revolusi...
(Mukti Mukti, Menitip Mati)


Beratus kali aku mendengarnya namun tetap saja aku tak sanggup untuk menahan perasaanku. Tiap kali mendengarnya pasti akan ada gejolak yang terus menerus menggelora.
Kali ini bukan abangku J yang menyanyikannya. Asal kau tahu, tiap kali dia menyanyikan lagu ini saat duduk sendirian di seberang jalan di tengah malam, hatiku selalu bergidik. Aku merindukannya.
Suara Mukti Mukti melalui streaming, jauh dari kota dimana aku mendengarnya dulu, juga tak mengurangi gejolak yang dulu pernah ada.
Dia berkata: Revolusi!!

Kupikir bukan perkara mudah bagi dia untuk berkata demikian. Bukan seperti seorang muda yang baru membaca beberapa buku dan berteriak 'revolusi'. Dia pasti lebih dari itu. Entah mengapa, hatiku selalu berkata bahwa dia menyanyikannya dengan hati. Ketika seorang manusia berakal meneriakkan suara hatinya, dia bukan lagi menjadi bagian dunia ini tapi dia juga menjadi bagian dari perubahan atas dunia ini.

Kita dulu menuntut atas perubahan..
Kita ingin perubahan dan kita memperjuangkannya. Ingatlah. Kita yang dulu berjuang sendiri. Kita yang dulu menangis sendiri. Berjuang bagi apa yang kita lihat benar dan menangis untuk apa yang kita lihat salah. Kesendirian atas proses perjuangan dan perih yang kita hadapi tidak akan pernah padam. Namun, kali ini kita tak akan dituntut untuk berjuang sendiri..

Ketika kau bertemu kawan yang mau berjuang bersamamu, kau takkan sanggup menolaknya.
Ini bukan perkara kau mampu dan mau berjuang sendiri, namun kesadaran bahwa perjuangan sekumpulan orang pasti lebih menimbulkan efek yang lebih besar dibanding perjuangan masing-masing.
Ketika ikatan hati telah menjadi satu, kau takkan sanggup menolaknya.
Ketika seorang pejuang bertemu pejuang lainnya, kau akan mengetahuinya dan takkan sanggup menolak untuk berjuang bersama.

Kali ini aku telah mendapatkan seorang kawan.
Kawan yang mau berjuang bersama untuk menuntut perubahan.
Perubahan atas kondisi yang kita keluhkan selama ini.
Dan aku menyadari bahwa perubahan itu akan semakin cepat menjadi kenyataan ketika kita berjuang bersama.
Kau takkan sanggup menolaknya.
Karena dia juga telah berteriak, "Revolusi!!!"

Saat ini perubahan itu telah datang.
Kau yang menuntut perubahan, takkan bisa menghentikannya.
Ketika dahulu kakimu telah melangkah, sekarang saatnya menancapkan kakimu dalam-dalam.
Kali ini, kau hanya dapat meneruskannya. Meneruskannya dengan terus berjuang bersama.
Hai, kawan! Jangan takut dan jangan surut!!
Bukankah dulu kita pernah berkata seperti itu. Takut hanya milik pengecut. Kalah dan menang tak ada dalam kamus pejuang. Dan rasa lelah hanya milik pihak yang lemah.
Kita tak bisa berhenti sekarang, kawan..
Ingat. Kita hanya berhenti ketika kita telah mencapai tujuan, bukan karena rasa lelah.

Ingatlah, kawan..
Dahulu kita punya tangis yang tak pernah berhenti atas negeri ini.
Namun..
Bukankah kita semua juga punya mimpi.
Bukahkah kita semua juga punya hati.
Sekarang inilah saatnya kita menangkan Revolusi!!

Salam dua jari.
Revolusi Mental.

Berlin, 1 Juli 2014.

Jumat, 20 Juni 2014

Kita Berhak...

Malam itu, hanya bersama tiga kawanku di lorong sunyi kampus yang penuh dengan tiang batu, kami berdiri di depan laki-laki yang kukenal sebagai seniorku. Ya, kami sedang dalam masa penerimaan sebagai anggota organisasi di kampusku.
Sejenak aku tertegun dan seakan tak sanggup aku mendengar suaranya. Suara yang tak terdengar begitu keras namun tampak sangat tegas.
"Kalian tahu, kalian berdiri di tempat ini menyisihkan berapa banyak orang dan berapa banyak mimpi manusia?!"
"Kalian tahu, banyak darah dan air mata tercurah untuk kalian berada di tempat ini?!"
"Kalian tahu bahwa dinding ini menyimpan banyak tangis manusia di luar sana yang berharap pada kalian?!"
Aku baru tahu..

Kurasa itu bukan kali pertama aku mendengar cerita dan orasi macam itu. Mungkin sudah beberapa kali, namun kali itu adalah pertama kali kesadaran datang kepadaku.
Kesadaran selalu berbuah pada pertanggungjawaban. Tanggung jawab atas pelaksanaan perbuatan dari kesadaran yang kita terima.
Mau tak mau, siap tak siap, tiap butir kalimat yang diucapkannya telah masuk dan tercerna dalam diriku.
Ya. Kami, kita semua tepatnya, seluruh pemuda yang mengaku bangsa Indonesia, berdiri di atas tangis dan darah manusia. Bangsa ini didirikan bukan hanya melalui mimpi, namun juga melalui darah dan perjuangan.

Mungkin banyak diantara kita yang sudah hiraukan pelajaran sejarah dan saat ini sedang menghindari sejarah dengan mengatakan bahwa kita tak perlu belajar sejarah karena sejarah bangsa ini pun sudah banyak yang diputarbalikkan.
Kawan, kurasa ada benarnya. Namun, juga tak semua pemikiran itu benar.
Kalau kita merasa kata-kata itu hanya keluar dari mulut aktivis, kita sudah selayaknya belajar untuk merenung sejenak...

Sejarah penggantian presiden kita selalu diliputi oleh kabut tebal.
Peristiwa supersemar berujung pada turunnya bung Karno. Setelah berpuluh tahun kita hidup dalam kebenaran subjektif yang ditanamkan sang penguasa kedua, kini kita seolah mencari kebenaran yang sebenar-benarnya dan seolah tak dapat mempercayai pelajaran sejarah yang kita dapatkan.
Hati kita yang terluka akibat kebohongan yang terkuak seolah meminta otak kita menolak segala kenyataan.

Kenyataan yang hingga kini masih dapat ditelusuri.
Kenyataan bahwa banyak darah tercurah bagi peristiwa itu. Kenyataan bahwa banyak tangis dan air mata yang terlinang akibat kekejaman. Kenyataan bahwa telah terjadi penindasan terhadap kaum lemah.
Kita lupa akan hal itu..
Bahkan ketika itu terus berlangsung tatkala sebagian dari kita termanjakan oleh kondisi yang super nyaman ala penguasa masa itu.

Belum lama berselang, beberapa belas tahun yang lalu, kembali peristiwa sejarah penggantian presiden kita dilalui dengan pengorbanan nyawa manusia.
Peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun dipenuhi dengan korban kekejaman, penindasan, kesewenang-wenangan, air mata, darah, dan nyawa.
Berapa banyak manusia yang terkorban 'hanya' karena mimpi dan perjuangan yang dipercaya.
Bukan karena mimpi yang salah dan perjuangan yang menentang dunia. Mimpi yang diperjuangkan adalah mimpi yang sama atas proklamasi negara ini. Perjuangan yang menuju kebenaran dan kehidupan sesama, bukan perjuangan yang menghancurkan manusia.
Sudah lupakah kita???

Penggantian presiden kali ini pun, membuat aku sedikit bergidik.
Aku takut hal sama akan terulang..
Ketakutanku bukan hanya pada memori atas peristiwa yang menyayat hati kala itu, juga ketakutan bahwa kita lekas menjadi lupa dan takut mengingat kembali. Aku takut menjadi lupa.

Kembali aku merenung..
Karena merenung terkadang membuatku memasuki dunia dimana aku dapat kembali ke masa itu.
Merasakan bahwa tanah yang kupijak adalah tanah yang direbut oleh taruhan nyawa dan air yang kunikmati berasal dari tangis dan darah anak bangsa yang beruntung mendapatkan pencerahan sekaligus jalan hidup untuk melaksanakannya dalam perbuatan.

Kali ini aku harus memilih. Bukan berdiam dan mengatakan seolah-olah itu masalah para elit dan aktivis.
Ini bukan persoalan mereka. Ini adalah persoalan bahwa kau berada di tanah yang kaupijak dan kau tak boleh lupa darimana tanah itu berasal. Kau tak boleh lupa kau berasal dari mana.
Ketika kau memikirkan, kau harus melaksanakan.
Ketika kau melaksanakannya, kau harus memperjuangkannya.
Ketika kau memperjuangkannya, kau harus mendapatkannya.

Perjuangan kita kali ini tak mudah, kawan.
Aku dengan mudah dapat menentukan kemana aku melangkah. Aku harus memberikan pilihanku ke tangan yang tak penuh darah.
Aku tak mau memilih mereka yang menggenggam luka, amarah, dan darah dari manusia-manusia yang berjuang bagi kita.

Dalam pemikiran, aku dengan mudah melihat mana kawan yang dapat berjuang bersama denganku.
Kawan yang memberikan hidupnya sebagai perjuangan atas mimpi kita bersama.
Kawan yang memberi secercah harapan dan tak penuh darah atas sesama.
Kawan yang membuatku merasakan bahwa aku layak bekerja bersama dengannya untuk membangun segala impian atas bangsa ini.
Aku punya mimpi atas bangsa ini. Aku punya harapan atas bangsa ini.
Dan aku punya perjuangan untuk bangsa ini.
Aku berhak memilih kawan untuk memperjuangkan hal yang sama.
Kita berhak memiliki perjuangan itu bersama...

Salam dua jari.

Berlin, 19 Juni 2014.

Senin, 24 Maret 2014

Kembalikan Negeri Kita!!!



Apakah kita muak dengan kondisi negara kita? Apakah kita sudah jenuh dengan kebohongan dan hanya bisa menggerutu? Atau kita sudah tidak peduli? Kalau boleh jujur, kubilang untuk kalian semua: TERSERAH!!!
Mengapa 'terserah'? Karena kupikir kita semua punya suara untuk menentukan nasib bangsa kita. Namun, sekali lagi namun, untuk kita bisa ngomong terserah pun, kita harus tahu mengapa kita bisa bilang terserah. Tanpa dasar (atau keinginan untuk berpikir), kita hanya seonggok daging berselimut ego.

Pembangunan negara selalu indentik dengan pembangunan infrastruktur, meski itu bukan satu-satunya tolok ukur dan tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa faktor lainnya seperti ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain sebagainya. Carut marut kondisi pembangunan di negara ini sudah barang tentu menjadi cerminan pengelolaan yang carut marut juga tentunya. Salah seorang profesor bahkan setiap kali berbicara dihadapan petinggi negeri selalu berkata bahwa solusi dari memperbaiki infrastruktur di Indonesia adalah pertobatan. Jika hendak ditarik lebih jauh lagi, tampaknya pernyataan itu tidak salah dan tentu saja berkaitan erat dengan kondisi pemerintah yang mengelolanya.



Ditilik dari berbagai sudut, kondisi infrastruktur sangat dipengaruhi oleh perencanaan yang matang. Satu hal itu yang tampaknya lepas dari genggaman kita. Meski banyak perencanaan yang sudah disusun dalam jangka pendek, menengah, dan panjang; namun jika benar ditelaah lagi, perencanaan yang dimaksud itu adalah perencanaan program sesuai jangka waktu yang ditetapkan diatas, bukan perencanaan yang didasarkan oleh ilmu pengetahuan. Seharusnya, perencanaan berjangka harus didasarkan pada basis keilmuan. Selama ini yang terjadi di Indonesia lebih banyak perencanaan didasarkan pada kebutuhan. Ya, memang harus berdasar kebutuhan namun kebutuhan yang seperti apa. Terlebih, sangat tipis batas antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan yang tidak ditunjang dengan keilmuan akan menghasilkan malapetaka. Sebagai contoh, jika seorang awam diminta seseorang untuk menolong dia menyembuhkan tangan yang terkilir, apakah kita berani? Tentu tidak, meski orang tersebut sangat membutuhkan bantuan tetapi tanpa ilmu yang cukup malah akan memperparah cedera.

Selanjutnya adalah proses pelaksanaan pembangunan yang tidak didukung dengan kemampuan terbaiknya. Secara teknis, sebenarnya negara ini penuh dengan orang-orang pintar yang juga berdedikasi terhadap pembangunan namun mereka tersisih dalam persaingan yang amburadul sehingga banyak yang menjadi pengambil keputusan adalah orang-orang kotor yang memenangkan persaingan dengan cara kotor pula. Yang terjadi kemudian adalah pengambil keputusan itu yang menentukan kualitas pembangunan di negara ini. Inilah kondisi pemerintah kita sekarang.

Jangan pernah menyalahkan dan mempertanyakan mengapa orang-orang yang baik dan pintar itu tersisih. Kalau kita tak pernah merasakan kondisi di dalam struktur dan bagaimana mereka berjuang sebagai minoritas, kita tak pernah tahu beratnya perjuangan mereka dan helaan nafas setiap kali suara mereka hanya berakhir di perintah atasan, paling jauh pun hanya berhenti di gebrakan meja dari suara sang idealis. Mereka adalah orang-orang yang akan muncul ketika pemimpin di negeri ini adalah pemimpin yang berhati bersih dan memberikan kompetisi yang jujur terhadap sistem dibawahnya; mereka akan muncul pada saat itu. Selain itu juga, masih banyak orang-orang yang sebenarnya ingin merubah keadaan namun jalan yang mereka tempuh adalah menjadi partikel bebas yang terus menyuarakan kebenaran di sudut-sudut ruang gelap. Sekali kita memanggil, mereka akan bergerak keluar secara serentak.

Kondisi carut marut yang penuh dengan tangan kotor itu dipengaruhi oleh banyak hal, KKN salah satunya. Akar permasalahan ini tentu saja karena warisan sistem pemerintahan kita yang sepertinya dirancang supaya setiap manusia didalamnya hanya bergantung pada perintah atasan. Celakanya, perintah atasan itu bukan hanya perintah yang didasarkan pada perencanaan keilmuan, hampir seluruhnya didasarkan pada keinginan sang penguasa semata. Terlebih, rekayasa sistem pemerintahan yang terkait gaji, kesejahteraan, dan etika kerja pun sangat mendukung warisan tersebut.

Menjadi pertanyaan lanjutan adalah apakah kondisi tersebut tidak dapat diubah? Tentu saja bisa, namun ini menjadi tugas utama seorang pemimpin negara yang akan segera kita pilih pada tahun ini. Kunci utama yang harus dibawa adalah pertobatan nasional.



Mengubah kondisi infrastruktur yang sudah semakin parah ini hanya dapat dilakukan dengan dua dasar, yaitu: keilmuan dan pemberantasan korupsi.

Dalam hal keilmuan, perencanaan berjangka dan pembangunan harus didasarkan pada keilmuan yang berintegrasi. Banyak ilmuwan, akademisi, dan profesional yang dapat menyumbangkan pikiran mereka dalam proses ini. Mereka yang selama ini hanya menjadi 'narasumber' para pengambil kebijakan dapat diberikan peran yang lebih banyak lagi. Dengan proses yang profesional pula, tentunya mereka dapat menentukan arah pembangunan berdasarkan keilmuan yang ada. Yang menjadi fokus kemudian adalah mereka yang dipilih haruslah mereka yang benar-benar berdedikasi untuk keilmuan. Tak dapat disangkal bahwa kondisi bangsa yang berpuluh tahun dikelabui warisan buruk dari rezim terdahulu sudah menunjukkan dampaknya pada oknum-oknum di dunia keilmuan.

Keilmuan harus juga menjadi dasar bagaimana suatu sistem organisasi dapat dibentuk. Jika menentukan perencanaan sudah tepat sesuai dengan keilmuan, maka organisasi juga mengikuti bagaimana perencanaan tersebut dapat dilaksanakan sehingga penentuan sistem organisasi dapat dibuat seramping mungkin dan dengan beban kerja yang sudah terukur dengan sangat jelas dan terencana hingga jangka waktu yang panjang. Keefektifan dan keefisiensian dari organisasi akan sangat menentukan bagaimana perencanaan dapat tertuang menjadi pelaksanaan.

Dalam hal pemberantasan korupsi, beberapa langkah strategis harus dilakukan. Salah satu yang harus diprioritaskan adalah gaji pemerintah. Bagaimana bisa gaji seorang yang mengemban tanggung jawab besar atas pembangunan infrastruktur malah sangat kecil? Tentu bukan berarti gaji nya harus sangat besar namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana gaji tersebut dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan jabatannya. Kunci dari sistem gaji ini sangat dapat didasarkan dengan penggajian berdasarkan sistem nilai. Harus ada formulasi yang dapat menentukan gaji seseorang sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya. Tidak mudah memang, namun inilah yang harusnya dapat menjadi kunci utama keberpihakan terhadap setiap manusia yang menjadi abdi pemerintah. Jika belakangan ini sering kita dengar bahwa pemimpin negeri yang sekarang berkata tentang gajinya yang sangat kecil, kupikir ini yang agak lucu. Kupikir, rakyat Indonesia pun tak akan peduli kalau gaji seorang pemimpin (misal) 3 milyar per bulan JIKA dapat menyelesaikan banyak masalah yang terjadi, jika dapat mensejahterakan rakyatnya; daripada selalu mengeluarkan keluhan hanya digaji sekitar 60 juta namun tetap saja tidak terasa perubahan yang berarti di negeri ini.

Hal selanjutnya yang harus menjadi perhatian, ketika sistem penggajian sudah tertata dengan baik harus ada sistem hukuman yang dilaksanakan. Sistem hukuman ini merupakan konsekuensi logis dari gaji besar yang sudah diterima. Setiap ada kesalahan atau kerugian negara dalam hal pembangunan harus ada hukuman yang sangat berat yang harus diterapkan, hukuman paling berat di negeri ini pun harus menjadi salah satu hukuman yang dapat diterapkan dalam pemberantasan korupsi (hukuman mati). Ini adalah kunci dan bukti bahwa kita tidak main-main untuk mengelola negara ini. Negara ini tidak bisa dikelola oleh otak yang hanya berkisar soal mengisi dompet, perut, dan selangkangan saja. Ketika kesejahteraan dan gaji sudah dijamin secara pasti tidak akan ada pembenaran yang dapat dikemukakan atas setiap kesalahan.
Pemerintahan yang kuat akan menjadi motor utama pengembalian kondisi infrastruktur di negeri kita ini.



Bukan hal mudah untuk memulai gerakan perjuangan ini. Tidak lah mudah mengembalikan kondisi infrastruktur yang sudah amburadul di berbagai sisi. Namun bukan pula perkara yang mustahil untuk dilakukan. Semua dapat dimulai dengan sosok pemimpin yang mau berubah bangsa dan negara ini. Jika seorang pemimpin bersih dapat muncul dan berteriak ke segala arah, para manusia 'diam' dan mempunyai 'hati' untuk bangsa ini pun akan keluar dari sudut gelap bersama masyarakat.
Jadi, masihkah kita yakin untuk terus berteriak dan berjuang mengembalikan negeri kita menjadi kembali makmur? Tentu saja. Ayo, Kembalikan Negeri Kita!!!

Sabtu, 15 Maret 2014

Setengah Langkah

Akhirnya..

waktu yang dinanti oleh banyak orang telah datang. Sang Ibu memberikan mandat kepada 'anak'nya untuk berjuang menjadi pemimpin negeri ini.

Kali ini kali kedua kebangkitan. Setelah yang pertama menjadi gerakan perlawanan atas rezim penguasa puluhan tahun dan yang kedua menjadi oposisi atas dua kali masa pemerintahan dari pemerintah autopilot (seperti yang dikemukakan banyak media dan pengamat, 2012). Euforia pada kebangkitan pertama ditandai dengan ketidaksiapan penuh menjadi penguasa. Berbagai masalah di kondisi yang kacau tidak dapat diselesaikan dengan kapasitas yang dipunyai. Banyak yang diperbaiki namun banyak pula yang belum tersentuh.

Kali ini cerita itu berubah. Menjadi kubu yang tidak turut berkuasa atas pemerintahan, masa ini dilakukan dengan membangun diri terus-menerus untuk tetap menjadi wadah atas kuasa rakyat. Dalam proses berdiam diri inilah membentuk diri dan membangun kapasitas terus dilakukan dengan menjadikan rakyat atas tuannya dan membentuk kader terbaik sebagai wakil dari rakyat.

Kebangkitan kedua ini dirasa sangat pantas. Partai yang membangun diri dan terus berjuang untuk rakyat bukanlah musuh dari bangsa. Dia yang dimiliki oleh rakyat seharusnya akan terus memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa. Penunjukan kader terbaik untuk mewakili rakyat menjadi pemimpin atas negara ini pun harus dilakukan. Memang kekuasaan yang diinginkan, namun bukan kekuasaan atas partainya saja, juga kekuasaan penuh rakyat.

Pemberian mandat kepada sang anak masih merupakan setengah langkah. Setengah langkah lagi yang diperlukan adalah menunjukkan bahwa kebangkitan ini juga didukung oleh kapasitas besar yang telah lama disiapkan. Bukan hanya satu anak ini saja yang akan berlari namun juga akan didukung dengan anak-anaknya yang lain, yang siap berlari untuk memberikan perubahan bagi negeri dan bangsa ini hingga seluruh rakyat dapat tegak berdiri menyongsong sang fajar penuh harapan.


...bahwa terus mendengar suara paling senyap sekalipun.
...bahwa terus membuka mata untuk melihat derita rakyat dan berjuang untuk rakyat.
...bahwa terus mengasah nurani dan akal sehat untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang timbul.
...bahwa mendengar, melihat, peduli, dan tetap berada di setiap detak kegalauan rakyat.
(Megawati Soekarno Putri)