Jumat, 20 Juni 2014

Kita Berhak...

Malam itu, hanya bersama tiga kawanku di lorong sunyi kampus yang penuh dengan tiang batu, kami berdiri di depan laki-laki yang kukenal sebagai seniorku. Ya, kami sedang dalam masa penerimaan sebagai anggota organisasi di kampusku.
Sejenak aku tertegun dan seakan tak sanggup aku mendengar suaranya. Suara yang tak terdengar begitu keras namun tampak sangat tegas.
"Kalian tahu, kalian berdiri di tempat ini menyisihkan berapa banyak orang dan berapa banyak mimpi manusia?!"
"Kalian tahu, banyak darah dan air mata tercurah untuk kalian berada di tempat ini?!"
"Kalian tahu bahwa dinding ini menyimpan banyak tangis manusia di luar sana yang berharap pada kalian?!"
Aku baru tahu..

Kurasa itu bukan kali pertama aku mendengar cerita dan orasi macam itu. Mungkin sudah beberapa kali, namun kali itu adalah pertama kali kesadaran datang kepadaku.
Kesadaran selalu berbuah pada pertanggungjawaban. Tanggung jawab atas pelaksanaan perbuatan dari kesadaran yang kita terima.
Mau tak mau, siap tak siap, tiap butir kalimat yang diucapkannya telah masuk dan tercerna dalam diriku.
Ya. Kami, kita semua tepatnya, seluruh pemuda yang mengaku bangsa Indonesia, berdiri di atas tangis dan darah manusia. Bangsa ini didirikan bukan hanya melalui mimpi, namun juga melalui darah dan perjuangan.

Mungkin banyak diantara kita yang sudah hiraukan pelajaran sejarah dan saat ini sedang menghindari sejarah dengan mengatakan bahwa kita tak perlu belajar sejarah karena sejarah bangsa ini pun sudah banyak yang diputarbalikkan.
Kawan, kurasa ada benarnya. Namun, juga tak semua pemikiran itu benar.
Kalau kita merasa kata-kata itu hanya keluar dari mulut aktivis, kita sudah selayaknya belajar untuk merenung sejenak...

Sejarah penggantian presiden kita selalu diliputi oleh kabut tebal.
Peristiwa supersemar berujung pada turunnya bung Karno. Setelah berpuluh tahun kita hidup dalam kebenaran subjektif yang ditanamkan sang penguasa kedua, kini kita seolah mencari kebenaran yang sebenar-benarnya dan seolah tak dapat mempercayai pelajaran sejarah yang kita dapatkan.
Hati kita yang terluka akibat kebohongan yang terkuak seolah meminta otak kita menolak segala kenyataan.

Kenyataan yang hingga kini masih dapat ditelusuri.
Kenyataan bahwa banyak darah tercurah bagi peristiwa itu. Kenyataan bahwa banyak tangis dan air mata yang terlinang akibat kekejaman. Kenyataan bahwa telah terjadi penindasan terhadap kaum lemah.
Kita lupa akan hal itu..
Bahkan ketika itu terus berlangsung tatkala sebagian dari kita termanjakan oleh kondisi yang super nyaman ala penguasa masa itu.

Belum lama berselang, beberapa belas tahun yang lalu, kembali peristiwa sejarah penggantian presiden kita dilalui dengan pengorbanan nyawa manusia.
Peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun dipenuhi dengan korban kekejaman, penindasan, kesewenang-wenangan, air mata, darah, dan nyawa.
Berapa banyak manusia yang terkorban 'hanya' karena mimpi dan perjuangan yang dipercaya.
Bukan karena mimpi yang salah dan perjuangan yang menentang dunia. Mimpi yang diperjuangkan adalah mimpi yang sama atas proklamasi negara ini. Perjuangan yang menuju kebenaran dan kehidupan sesama, bukan perjuangan yang menghancurkan manusia.
Sudah lupakah kita???

Penggantian presiden kali ini pun, membuat aku sedikit bergidik.
Aku takut hal sama akan terulang..
Ketakutanku bukan hanya pada memori atas peristiwa yang menyayat hati kala itu, juga ketakutan bahwa kita lekas menjadi lupa dan takut mengingat kembali. Aku takut menjadi lupa.

Kembali aku merenung..
Karena merenung terkadang membuatku memasuki dunia dimana aku dapat kembali ke masa itu.
Merasakan bahwa tanah yang kupijak adalah tanah yang direbut oleh taruhan nyawa dan air yang kunikmati berasal dari tangis dan darah anak bangsa yang beruntung mendapatkan pencerahan sekaligus jalan hidup untuk melaksanakannya dalam perbuatan.

Kali ini aku harus memilih. Bukan berdiam dan mengatakan seolah-olah itu masalah para elit dan aktivis.
Ini bukan persoalan mereka. Ini adalah persoalan bahwa kau berada di tanah yang kaupijak dan kau tak boleh lupa darimana tanah itu berasal. Kau tak boleh lupa kau berasal dari mana.
Ketika kau memikirkan, kau harus melaksanakan.
Ketika kau melaksanakannya, kau harus memperjuangkannya.
Ketika kau memperjuangkannya, kau harus mendapatkannya.

Perjuangan kita kali ini tak mudah, kawan.
Aku dengan mudah dapat menentukan kemana aku melangkah. Aku harus memberikan pilihanku ke tangan yang tak penuh darah.
Aku tak mau memilih mereka yang menggenggam luka, amarah, dan darah dari manusia-manusia yang berjuang bagi kita.

Dalam pemikiran, aku dengan mudah melihat mana kawan yang dapat berjuang bersama denganku.
Kawan yang memberikan hidupnya sebagai perjuangan atas mimpi kita bersama.
Kawan yang memberi secercah harapan dan tak penuh darah atas sesama.
Kawan yang membuatku merasakan bahwa aku layak bekerja bersama dengannya untuk membangun segala impian atas bangsa ini.
Aku punya mimpi atas bangsa ini. Aku punya harapan atas bangsa ini.
Dan aku punya perjuangan untuk bangsa ini.
Aku berhak memilih kawan untuk memperjuangkan hal yang sama.
Kita berhak memiliki perjuangan itu bersama...

Salam dua jari.

Berlin, 19 Juni 2014.