Kamis, 31 Desember 2015

Aku Ingin Tidur

Bukan yang pertama perasaan sepi ini datang. Bahkan, yang kuingat, beberapa tahun belakangan ini sudah seringkali hadir. Tepat tahun lalu seperti menjadi salah satu piuncak tertingginya, bahkan hingga mnembuat terngiang-ngiang jelas perasaan itu di ingatanku. Perasaan sepi ketika sedang musim dingin di negara orang dimana terang hanya muncul kurang dari 8 jam dan itupun seringkali suram. Terlebih saat itu sedang mengerjakan tesis, ngejar deadline di awal tahun, sementara banyak orang sedang menikmati liburannya dan tak banyak yang bisa kau temui. Lengkap sudah itu menjadi salah satu ingatan terburuk saat menimba ilmu kala itu.

Hadirnya kali ini dalam bentuk yang lain, meski tetap saja tampak jelas apa yang dia bawa. Tetap, kesendirrian. Boleh dikatakan sudah sepertiga hidup kujalani dengan sendiri, tanpa ada keluarga. Hidup menjalani hari dan pulang kembali masuk ke kamar kecil untuk kemudian berlanjut menikmati sepimu itu. Meski memang ada banyak sahabat yang mengisi ruangmu, namun kembali ke rumah dan bersama keluarga memang selalu menjadi kenikmatan yang tak ada duanya. Kau harus selalu senang kembali ke rumah.

Kukira dulu memang aku diciptakan sebagai penyendiri yang menikmati sepi dan kesendirian, namun tampaknya tidak. Apa yang kau cari memang harus kau perjuangkan. Ketika kau mendapatkan mimpi dan berjuang untuk mendapatkannya bukan berarti kau harus berjuang dengan kesendirian. Sempat terlintas bahwa jalan selibat akan menuntunku mendapatkan mimpi itu, namun nyatanya bukan itu yang dimau. Mimpi besarmu terkadang terlalu tinggi untuk kau daki sendirian. Perjuanganmu bukan hanya soal ketika kau melipat kedua tanganmu dan berseru, namun juga ketika kau berpegang tangan satu sama lain dan melihat Semesta hadir di dalamnya. Karena ketika dua atau tiga orang berkumpul, Dia kan hadir ditengah-tengahnya. Jelas, ini bukan berbicara mengenai jalan sendiri yang pernah terlintas.

Aku berharap bahwa kali ini aku dapat tidur. Aku ingin tidur dalam tenang supaya dapat dengan hati-hati rusukku terambil. Supaya dapat dengan penuh kelembutan pula terbentuk tulang itu untuk dapat kembali menjadi bagian dari diriku dalam wujud yang serupa denganku. Supaya, kemudian, kami dapat bermimpi bersama, berjuang bersama, berlutut bersama. Ya, kali ini itu pintaku. Bukan karena lelah aku terbangun dan sendiri melihat bagaimana sekitar ini, namun karena aku ingin tidur tenang supaya dapat kembali bangun dan melihat sekitar dengan lebih kuat lagi. Aku ingin tidur.

Kamis, 10 Desember 2015

Apakah Sulit?

Bukankah kau bilang 'hanya' pikul salib?
Aku tahu itu tak mudah
Namun berulang kali aku meminta
Dan kau beri kan ku kekuatan

Rasakan hadiratMu
MengiringMu seumur hidupku
Masuk dalam rencanaMu
Bukahkah itu mauMu?

Aku sadar bahwa hanya didalamMu aku mampu

Kupinta satu kembali kali ini
Ketika itu terhilang
Dan aku tahu ini menyakitkan
Bukan hanya karena dia terhilang
Namun karena kupikir dia adalah janjiMu
dia adalah rencanaMu

Harapanku hanya didalamMu
BersamaMu ku kan teguh
Kali ini aku tertawa
Bukan menertawakanMu
Ijinkanku menertawakan diriku
kehendakku yang barangkali Kau pikir lemah

Jadikanku bejanaMu?
Berulang kali aku mencoba
Gagal
Mencoba
Dan selalu mencoba
Itu yang Kaubilang

Tak mudah
Namun kuminta padaMu untuk
Tenangkan jiwaku
Tenteramkan hatiku

Kali ini..
Dia meminta maaf kepadaku
Serta ucapkan terima kasih kepadaku

Yang kutahu diatas kata maaf ada satu kata
Ampun
Yang kutahu diatas kata terima kasih ada satu kata
Syukur

Pengampunan
dan
Bersyukur

Sesederhana itu dan itu terasa masih sulit bagiku...

Kirimkan kepadaku pertolongan yang Kaubilang sepadan

Minggu, 28 Juni 2015

Halaman Rumah

Kembali ke rumah selalu menjadi momen yang menyenangkan. Seharusnya.

Di tempo lampau, pada sore hari tatkala hujan belum reda sepenuhnya dan kami hendak pergi meninggalkan kampus, beliau juga selalu mengucapkan itu. Penuh sarat, penuh makna. Utamanya ketika obrolan itu tentang hidup.

Dan tetap saja ada waktunya merasakan hal yang tak seharusnya terjadi. Rentang masa ketika kita berada di rumah dimana kita besar namun tak merasakan kembali rasa yang menyenangkan itu.

Sudut-sudut rumah yang penuh kenangan oleh ulah masa kecilmu dan laku tiap wajah yang kau kenal telah hilang entah kemana, semuanya seolah terasa asing bagimu.

Dan ketika pikiranmu yang seolah-olah telah lebih banyak berkembang di luar rumahmu itu kemudian beradu dengan pikiran-pikiran yang kau pandang sempit karena terkungkung dinding rumah.

Pikiran yang terbentuk oleh karena pikiran-pikiran dalam rumah yang mengirimmu untuk mengejar dunia yang penuh warna di luar sana namun kemudian kembali dan tak dapat menyatu.

Dan ketika setiap katamu selalu menjadi bentuk "no, i don't" bagi rupa yang telah melahirkanmu. Dan setiap kata yang keluar darinya seolah dalam bentuk tanda seru dan penuh hardikan bagimu.

Dan kemudian akhir dari pembicaraan selalu tampak kekecewaan dari sorot matanya dan pada akhirnya juga rasa penyesalan darimu.

Meski dalam rasa sesal itu terselip seuntai rasa keyakinan atas kebenaran yang kita anut.

Dan ketika laku tiap sosok yang mengenalmu semenjak kecil juga seolah menjadi sosok yang berbeda ketika mereka merangkulmu dulu. Kesenangan yang sama tak kau dapatkan lagi.

Dan ketika kau diperlakukan bukan lagi menjadi sosok dirimu yang bertumbuh dari atap yang sama namun menjadi sosok tamu asing yang pergi dan pulang dalam hitungan waktu yang tak lama.

Dalam doamu sudah seharusnya kau sebut tiap hal yang terjadi itu.

Ya, bahkan ketika berada di ribuan kilometer jauhnya dari tempat ini. Kuharap doa yang kupanjatkan dulu, kemarin, saat ini, dan esok akan selalu sama.

Ketika kau harapkan bahwa ketika pikiran-pikiran memang akan terus berkembang dan tak lagi sama (takkan pernah sama), maka cinta yang ada di tiap diri akan selalu sama dan semakin membesar.

Dan ketika tak dapat kubagi pikiran yang ada, maka tetap dapat kubagi cinta yang ada ini dengan berbagai bahasanya.

Sekelebat terbayang masa depan. Ingatkan aku ketika dalam cinta yang akan kurajut dalam rumah baruku esok harus selalu ada cinta yang sama juga sebagai dasar untuk bersatu meski tetap berbeda sebagai jarak. Bukankah gedung yang kokoh ditopang oleh pilar yang sama namun mempunyai jarak diantaranya?

Ketika rasa rindumu juga dapat kau antarkan ke masing-masing hati mereka di rumah ini. Untuk kemudian dapat dirajut menjadi sebuah rasa kekeluargaan yang bahagia. Yang olehnya kau mengerti arti seorang manusia dan memahami apa yang harus kau lakukan sebagai seorang manusia.

Dan kemudian dapat berbagi cerita satu sama lain meski tak seluruhnya dapat saling memahami. Tak melarang adalah keindahan terbesar dalam langkah hidupmu meski tetap ada keinginan bahwa dari mulut merekalah akan keluar jawaban atas pertanyaan yang kau cari.

Dan ketika setiap dari kita pergi jauh dengan pikiran yang akan makin berkembang entah kemana akan seolah-olah kita sedang keluar ke halaman depan saja dan sedang melangkahkan kaki ke pintu untuk mengetuknya dan kembali bersama.

Ketika seorang tua mengatakan bahwa rumah adalah dirimu yang membesar, maka doa harapan ini selalu tergantung di langit-langit rumah ini dan menerangi tiap darinya yang berlindung di dalamnya.

Pada saatnya akan selalu menyenangkan kok. Ketika kau mencari, kau akan menemukan. Terkadang, kau pergi jauh hanya untuk menemukan jalan pulang. Dan tak mungkin kan kau tersesat di halam depan rumahmu sendiri :)

Rabu, 04 Maret 2015

A Chance in The Divided City

Hembusan angin keras awal bulan Maret membuatku merapatkan diri ke dinding bangunan tua ini. Kali ini aku sedikit ragu untuk menemuimu di dalam cafe di sisi sungai Spree ini. Memang tak lama kemudian aku masuk dan mendapatimu berada di sisi kaca depan, terlindung kolom beon besar dari arahku datang. Sejenak kuamati engkau dan kupastikan bahwa wajahmu tetap sama seperti dahulu. Tirus ayu dan senyum yang mengembang. Kuingat pernah ada masa-masa di mana senyummu tak mengembang dan bibirmu menguncup seolah penuh gejolak emosi. Itu bukanlah dirimu yang kukenal. Aku mengenalmu sebagai seorang yang penuh tawa meski terkadang di dalamnya tersimpan sebersit duka.

Tak lama setelah kupesan kopi hitam kesukaanku, kudatangi meja di mana kau berada. Kupikir kau akan tahu mengapa kali ini kupesan kopi hitam,bukan cappucino seperti biasanya. Perbincangan mengenai masa lalu akan berat dan kuharap kepahitannya akan dapat digantikan oleh pahitnya segelas kopi hitam.
"Hai. Apa kabar, Ge?", sapaku sambil menghancurkan lamunmu ke arah sungai.
"Hai. Kabarku baik. Kamu bagaimana?"
"Baik. Tetap partikel bebas." jawabku.

Kuharap kau akan ingat bahwa partikel bebas seperti kita, yang mengidam-idamkan kemerdekaan diri dalam pemikiran dan laku, akan tetap menjadi bebas. Kebebasan yang bukan dipahami sendiri atau bersama, namun bebas karena kau tahu bahwa arahmu bukanlah kau yang tentukan namun Semesta yang tentukan. Kuharap kau mengingatnya.

Kau hanya tersenyum tipis. Dari sunggingan senyummu, aku tahu bahwa kau merasa aku menyindirmu karena kejadian waktu itu. Namun, di sisi lain, aku juga yakin bahwa itu juga menandakan bahwa kau masih Ge yang kukenal. Kami adalah partikel yang sama ketika kami bertemu dulu.

Pertemuan awal yang tak ada kesan berarti, namun beberapa saat setelahnya aku sangat sadar bahwa dia sangat mirip denganku. Sangat mirip dalam hal pemikiran, tingkah laku, dan prinsip. Bahkan dalam memandang hidup pun, kuakui bahwa dia sangat mirip denganku. Mungkin itu yang membuatku tertarik dengannya. Kau dapat bayangkan bagaimana kau bertemu dengan dirimu dengan sosok yang berbeda. Kau merasa seolah dapat mengerti apa yang dipikirkannya, apa yang diperjuangkannya,dan bahkan apa yang akan dijawabnya jika orang lain menanyakan sesuatu.

Ketika berbicara mengenai toleransi, kau sangat menyentuhku karena seolah aku merasakan perasaan yang sama ketika melihat manusia lain di sekitar kita. Ketika dalam persoalan kepercayaan kepada Tuhan, aku pun sedikit takjub ketika apa yang kita lakukan dalam beribadah ternyata mempunyai pemaknaan yang sama. Aku menemukan bagaimana pemaknaan yang kudapat tentang Allah juga sesuai dengan apa yang kau jalani. Bahkan, ketika kecenderungan menonton serial film atau buku pun, aku masih tak percaya bahwa kau semirip itu denganku. Aku yang bukannya tak sabar (meskipun iya) tidak dapat menunggu episode selanjutnya tanpa tahu kapan akan tamat. Dalam perenunganku terkadang aku merasa bahwa ini menjadi indikasi sederhana bagaimana aku memandang hidup. Bukan hal yang saklak, namun aku merasa bahwa aku mengetahui bagaimana kisah hidupku akan berakhir. Aku ingin berakhir bersama semesta, tentu aku tak dapat mengetahui secara pasti dalam tiap detail menuju garis akhir itu. Itu mengapa aku merasa perenungan dan pemaknaan kita tentang hidup sangatlah mirip.

--

Hampir setengah gelas sudah kuminum kopi hanta di depanku, kau masih seolah belum masuk ke topik yang kau inginkan. Obrolan yang kau sodorkan masih seputar perbincangan umum dan perkembangan dunia belakangan ini.

Sepertinya kita sama-sama tahu bahwa mau tak mau kita akan masuk ke pembahasan yang karenanya kita bertemu kembali di kota ini.

"Kau tahu, Al. Kalau aku masih seorang gadis kecil, ingin rasanya meminta doraemon untuk bisa kembali ke masa lalu. Terkadang aku membuat keputusan yang sedikit mengecewakan, bukan hanya untuk mereka orang-orang yang kukasihi namun juga untukku sendiri."

"Seandainya waktu itu aku sedikit lebih bijaksana, mungkin aku akan membuat membuka setiap kesempatan yang ada dan meyakinkan diriku bahwa aku akan berada bersama satu dari semua kesempatan yang kubuka. Bukan hidup dengan menentukan kesempatan dan berusaha menjalaninya."

"Namun aku tahu kalau waktu tak dapat berbalik dan diputar kembali. Aku saat ini adalah aku hasil keputusanku masa lalu. Tapi aku juga tahu bahwa pencerahan selalu ada bagi mereka yang mencarinya dan kupikir aku bisa mengucapkannya saat ini karena aku telah menemukannya."

Aku cukup terhenyak dengan rentetan kalimat yang kauucapkan. Kalimat yang penuh makna sekaligus seolah penuh dengan proses tapa brata yang sangat panjang. Aku merasa berada dalam puncak Himalaya yang sunyi dan sepi. Tempat di mana dapat merasakan bagian dari semesta ini. Tempat dimana kau berserah dan mendapatkan. Tempat dimana kau mencari dan menemukan. Tempat dimana kau merasakan kesunyian dirimu dan kau peroleh kemeriahan semesta ada di dalammu.

"Ge, kupikir itu bukan hal yang patut untuk disesali. Keputusan yang kau buat jangan pernah kau sesali meski memang terkadang mengecewakan. Ketika melangkah memang kita akan terjatuh. Namun itu lebih baik daripada kita hanya terdiam dan tak pernah bergerak."

"Aku mengerti bahwa kesempatan harus kita buka. Kupikir, kesempatan mengenalmu adalah anugerah yang indah dalam hidupku. Memang mengecewakan juga bagiku ketika tak lama kemudian anugerah itu kau sendiri yang merenggutnya dariku. Saat itu kupikir tidak adil bahwa kau merenggutnya tanpa mengetahui apa sebenarnya yang kutemukan, bahwa kau sangatlah serupa denganku. Saat itu, sebenarnya, aku hanya ingin kau juga menemukan kalau kau mempunyai sosok yang sama denganmu dalam sosok diriku. Namun apa mau dikata..."

Kuteguk kopiku dalam-dalam. Udara dingin peralihan musim dingin ke musim semi membuat kopi di tanganku mendingin dengan segera tergantikan dengan Americano anyep (dingin air biasa).

"Aku  hanya tak tahu mengapa kau berubah begitu cepat waktu itu. Dalam semalam, kau membuat keputusan yang mengejutkanku. Aku yang belum berbuat apa-apa terpaksa kau singkirkan. Egoku terhasut dan kelelakianku tertantang sehingga apa yang kulakukan pagi harinya membuat semua semakin runyam. Tapi, yah, biarlah semua itu. Semua sudah berlalu dan kupikir saat ini pencerahan sudah menemui kita dan membuat kita berada di tempat ini."

Senyum tipis pun kembali mengembang. Sejenak kau menatap gelas di hadapanmu, kemudian kau kembali berkata,
"Iya. Aku tahu apa yang kulakukan. Oleh karena itu, aku ingin kali ini aku masih dapat membuat keputusan yang berharga dalam hidupku. Aku ingin kembali membuka pintu yang tertutup. Aku ingin kembali mengenal diriku dan memahami semesta ini,bersamamu..."

Aku terdiam. Tak tahu apayang harus kujawab.
Anganku seolah berkata bahwa keinginan yang dulu terpisah kini telah bersatu meski bukan berarti jalan ke depan akan menjadi tanpa hambatan.
Kutatap matamu dalam-dalam dengan berharap kali ini kau dapat memulai menemukan pemikiran kita yang sama. Kuharap kau mendapat jawab melaluinya.

Diujung, kudengar lagu lawas Frank Sinatra yang mengalun pelan.
...
Yes, there were times, I'm sure you knew
When I bit off more than I could chew
But through it all, when there was doubt
I ate it up and spit it out
I faced it all and I stood tall and did it my way

I've loved, I've laughed and cried
I've had my fill, my share of losing
And now, as tears subside, I find it all so amusing
To think I did all that
And may I say, not in a shy way,
"Oh,no, oh,no,not me, I did it my way"

For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly and not the words of one who kneels
The record shows I took the blows and did it my way!



Barangkali itu yang harus kurenungkan.
Kita renungkan...
Tentang sebuah kesempatan.
Dan jalan hidup...

Senin, 02 Maret 2015

Arah

Buyar sedikit lamunanku ketika para pemusik memainkan iramanya di dalam strasse-bahn. Irama yang membuatku mau tak mau sedikit merasakan keriangan yang memang membuat setiap hati bergejolak ketika mendengarnya...

Oh when the saints go marching in
When the saints go marching in
O Lord, I want to be in that number
When the Saints go marching in

Peristiwa kemarin memang membuatku cukup mengejutkan. Hingga saat ini aku masih merasakan seolah-olah semua yang terjadi itu hanya mimpi. Tampaknya aku terlalu mengekspresikannya dengan sangat emosionil. Entah mengapa, mungkin karena memang perasaan yang menjadi sasaran, bukan logika. Kali ini, umur dan masa lalu seolah tak membekas dan terhilang entah kemana. Aku seolah menjadi sosok remaja di Alchemist yang sedang merasakan hembusan angin sorga, jiwa dari Semesta. Seolah hilang jiwa ini mendengar perubahan sikap yang sangat tiba-tiba.

Meninggalkan satu stasiun pusat kota yang hingar bingar, lagu itu pun terbawa pada beberapa baitnya yang penuh gejolak hati akibat kondisi ketidakadilan pada waktu itu. Seolah ingin menggambarkan adanya nuansa protes dalam irama riang, aku pun terjebak dalam nuansa yang sama. Aku tidak percaya bahwa apa yang kuperoleh dalam beberapa hari terakhir akan berujung seperti ini. Aku merasa bodoh.

Ketika yang kau percaya selama ini runtuh maka kau takkan bisa membangunnya kembali dalam sekejap. Kupikir ketika rencana yang diberikan kepadaku telah kujalankan dengan baik dan ketika dahulu kutahu akan bagaimana ending-nya, maka aku sangat yakin bahwa aku harus menjalani perjalanan dan garis akhirnya sesuai dengan apa yang 'kudapat'. Dan ketika seluruh perjalanan sudah kulalui, tikungan terakhir mengatakan bahwa garis akhir yang harus kujalani adalah berbeda dengan rencana semula maka itu cukup mengagetkanku. Tak ada yang sanggup untuk memastikan bahwa tikungan akhir itu benar-benar berubah atau tidak.

Yang kutahu saat ini adalah aku tetaptak berubah di dalam Semesta ini. Setiap rancangan yang kususun bukanlah mengenai aku lagi dan bagaimana hasil akhir harus kugapai, namun semua tentang bagaimana Semesta bekerja dan bagaimana perjalanan kulalui dengan semestinya. Kalau segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku, mengapa aku mesti takut. Tugasku hanya berjalan dan menuju yang garis yang telah ditentukannya kelak. Mencari arah adalah mencari jawab atas segala pertanyaan yang diberikannya keadaku. Ketika pertanyaan diberikan pun sebenarnya arah itu sedang diberikannya pula.

"Kau pernah mengalaminya bersamaku, mengapa kau merasa ragu. Diamlah dan kau akan mengerti kemana kita akan bersama pergi".

Sabtu, 28 Februari 2015

So, Next..??

Sepanjang hari ini tatapan kosongmu tak lepas dari ingatanku. Tatapan ketika perbincanganku dengan Tante L mengenai rencana tinggalku di kota ini. Sekilas aku melirik ke arahmu dan kusadari bahwa wajahmu telah berbeda,hanya tatapan kosong yang kulihat.

Kau tahu bahwa sesungguhnya aku pun tak tahu berapa lama aku akan tinggal di sini. Rencanaku semula, semenjak kedatanganku ke kota ini dua tahun yang lalu, yang seharusnya membawaku kembali ke kota asalku saat ini seolah sirna dalam hitungan minggu. Aku tahu aku berada di mana saat ini, di situasi bimbang.

Dalam hitungan hari di beberapa minggu ini kau menjadi alasan mengapa rencanaku berubah. Tentu,itu bukan salahmu. Aku masih tetap berpegang bahwa rencanaku bukanlah rencana yang dirancang oleh Semesta. Dan kebimbanganku kali ini membawaku dalam pertanyaan apakah engkau termasuk dalam rencana yang disusun Semesta untukku.

Hal mudah untuk memutuskan dan menuruti apa yang di depan mata. Namun, bukankah kita diajarkan oleh Semesta untuk selalu belajar padanya. Bukan yang di depan mata namun apa yang sebenarnya diberikannya kepada kita. Sungguh ini terlampau sulit bagiku. Tapi bukankah, lagi-lagi, kita pernah diajarkan bahwa apa yang diberikan kepada kita selalu disertai dengan penyertaan setiap waktu yang disediakannya. Kau punya mimpi, kau berusaha, dan Semesta akan besertamu karena sesungguhnya di dalam Semesta itulah kita berada.

Bukan hal mudah juga ketika mengingat beberapa belas tahun yang lalu ketika aku memutuskan menyerahkan hidupku. Saat itu, hingga sekarang, aku tahu bahwa hidupku bukanlah milikku. Menyerahkan hidup bukan hanya menyerahkan setiap rencanaku namun juga harus diartikan bahwa aku harus memahami rencana yang disusunnya untukku. Hidup ini telah menjadi miliknya. Aku hanyalah roh yang dia tiupkan ke dalam raga ini.

Mencari suara dari Semesta adalah hal mutlak. Namun,memang, terkadang kita juga diminta bukan hanya untuk mencari suara namun juga masuk dalam keheningan dan belajar memahami bersamanya. Di titik ini aku sadar bahwa ketika kau hadir dalam hidupku itu juga merupakan bagian dari rencananya. Tapi aku tak tahu apakah pendewasaan kita bersama juga merupakan bagian dari rancangan Semesta atau tidak. Alangkah indahnya kalau dapat terwujud. Barangkali kau lah bentuk bidadari yang sempat diucapkannya kepadaku.

Kali ini sosokmu menjadi pertimbangan terbesarku dalam proses pertanyaanku dan pencarian jawabku. Kuharap namamu menjadi bagian dari rancangan besar yang telah ditunjukkannya kepadaku. Nama yang akan menjadi bagian dari hidupku hingga akhir hayatku. Nama yang bukan hanya tercantum pada kertas suci di altar gereja namun juga nama yang akan terhias dalam batu nisan kita.

Seperti kuingat pada setiap momen kepindahanku ke kota lain. Dia selalu mengingatkanku bahwa jika aku sudah selesai melakukan apa yang harus kulakukan di satu kota maka memang saatnya aku harus berpindah, namun jika memang belum saatnya maka sebagaimanapun aku berusaha maka aku tetap tak akan berpindah. Kali ini kuharap kau tetap menjadi bagian dari rencana yang manapun. Kuharap ini bukan hanya egoku, ini keinginanku. Dan doaku.

Bolehkah kali ini aku bertanya kepada Semesta, "Apa selanjutnya..?"

Jumat, 20 Februari 2015

Tahun Baru

November 2014, tokoh di dunia pendidikan yang didaulat menjadi menteri pendidikan dasar kembali mengingatkan kita bahwa merayakan Indonesia adalah melunasi janji kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan gagasan untuk bersatu. Nasionalisme bukan karena darah namun karena gagasan. Menjadi Indonesia tidak harus kehilangan kejawaannya, keminangannya, kepapuaannya; tidak harus hilang identitasnya.

Merayakan tahun baru hari ini merupakan salah satu wujud untuk tidak menghilangkan identitas jati diri bagi sebagian rakyat di negeri ini. Meski berpuluh tahun tidak dapat merayakannya dengan bebas dan terbuka, namun era yang baru telah membawa banyak perubahan dalam usaha untuk menanamkan identitas itu. Menguatkan identitas diri bukan berarti melemahkan identitas yang lain. Memahami diri sendiri seharusnya menjadi sisi keping mata uang lain untuk memahami sesama.

Jauh di negeri seberang, sudah dua tahun tak kujumpai ucapan selamat dan hormat di pagi hari, berbagai makanan khas khusus tahun baru, hingga tradisi yang tak boleh menyapu rumah. Rindu sepertinya melakukan hal itu, terutama dilakukan  di rumah bersama keluarga. Namun apa hendak dikata,ribuan kilo terpisah menjadi hambatan untuk mewujudkannya. Sedikit yang bisa kulakukan adalah melakukan semua kebiasaaan-kebiasaan itu meski tanpa keluarga. Kalau tak dapat melakukannya bersama keluarga, setidaknya yang bisa kulakukan adalah menghadirkan suasananya di tempatku berada saat ini.

Terlebih dari itu, menghadirkan tradisi dan kebiasaan dapat memelihara rasa akan identitas yang kusandang. Meski banyak hal telah berubah namun nilai yang pernah ditanamkan padaku dapat kupelihara. Apalah gunanya identitas ketika kita tidak menjaganya.

Selamat tahun baru!!
Gong Xi Fa Cai