Senin, 25 Juli 2016

Hujan Jakarta Pagi Ini

Kupikir akan ada cerita. Cerita tentang apa yang terjadi. Bukannya aku tak mau, namun kupikir bukanlah tepat jika aku yang memulai..


Hai, Jakarta.
Kukira hari ini kau akan terik seperti biasanya. Kota yang panas dan gersang dimana-mana. Namun musim kemarau yang seharusnya hadir bulan ini seolah mengerti bahwa bulan ini akan ada air mata. Entah air mata bahagia atau kesedihan, aku tak tahu.

Dua cerita pada purnama yang lalu menghardikku. Mereka berdua mempunyai cerita yang sama meski berbeda waktu. Pengakuan yang mengagetkanku. Inilah mimpi kelam yang membuatku tak percaya bahwa bumi yang kupijak saat ini adalah bumi yang sama ketika aku mendengarnya. Aku seharusnya tak boleh merasa berlebihan. Bukankah beliau telah memberitahukanku pada waktu-waktu sebelumnya, bahwa dia akan mengalaminya.

Aku tak tahu apa yang dia alami. Cerita yang kutunggu dari mulutnya pun tak kunjung keluar. Aku ada pesan untuknya. Namun, pantaskah kusampaikan pesan itu padahal aku tak tahu di balik peristiwanya. Bagiku itu tak adil meski aku tahu pesan harus kusampaikan. Telah kutuliskan pada prasasti masa kini, yang kelak aku yakin akan mereka baca. Semoga.
(Semoga engkau juga menerima caraku menyampaikan pesanmu ini)

Gerimis datang tepat saat kutinggalkan kota ini. Aku hanya berharap bahwa ini bukan tetesan kesedihan. Pasti ada sukacita di tiap peristiwa, bagi mereka yang percaya. Aku percaya. Aku takkan meninggalkanmu, kawan..

Selamat tinggal hujan Jakarta pagi ini!


Jakarta, 20 Juli 2016

Senin, 18 Juli 2016

Gerhana Malam Ini

Terang tak tampak malam ini
Udara dan tiupan angin tak mampu atasi resah dalam dadaku
Hanya langit gelap yang menghubungkan jarak
Sejauh itu kah Delft malam ini?

Lima dadu bertarung angka
Tak satu pun mampu menghilangkanmu
Sangkal diriku selalu berujung sepi
Entah ini suatu kebodohan atau definisi dari perjuangan

Semburat sinar dari sekelilingmu
Ketika sang batara kala hadir dan menampakkan diri
Aku ingin melihatmu, meski terhalang dunia ini
Masih mampukah itu terjadi?

Jika Tuhan mengijinkan bahwa bukan hanya Rangga dan Cinta
Tentu aku ingin kisah yang sama
Kisah yang bukan hanya di dalam doa
Namun hingga janji yang terucap hingga mati nanti

Rabu, 25 Mei 2016

Di Manakah Tuan Institusi Berada?

Pemberia gelar Honoris Causa memang hak yang dimiliki oleh universitas. Terlepas bagaimana status yang disandang oleh universitas, gelar yang diberikan tetap menjadi gelar kehormatan akademik yang diberikan kepada tokoh yang dipandang mempunyai peran besar bagi bangsa dan negara. Tak terkecuali, pemberian gelar HC kepada dua presiden periode yang lalu oleh dua kampus besar di Bandung.

Ketika pemberian gelar kepada Presiden ke-6 oleh ITB, banyak mata yang melihat ragu dan dahi mengkerut. Spanduk yang berisi pengumuman acara sebesar itu hanya terpasang sehari sebelum acara. Telinga-telinga kampus pun banyak yang mendengar suara miring dari peristiwa besar ini. Apa mau dikata, dua periode beliau berkuasa, pucuk-pucuk pimpinan kampus seolah menikmati peran dalam dunia pemerintahan, kalau tak mau dibilang dunia politik. Apakah itu menjadi bagian besar dari acara pemberian gelar? Barang tentu kita bisa melihat track record bagaimana tirani dua periode menguasi kampus ini. Bagaimana penentuan kebijakan kampus berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Ya, memang kampus memang menjadi bagian dari kementerian yang berada dalam wilayah pemerintahan. Namun, tidak adakah pertanyaan yang terlintas apakah itu yang seharusnya menjadi sikap suatu institusi pendidikan. Institusi yang didalamnya kehormatan akademik seharusnya menjadi tonggak utama. Tonggak yang seolah berbicara bahwa kebenaran akademik boleh selalu diperbarui namun tidak boleh dibohongi.

Ketika pemberian gelar oleh Unpad kepada Presiden ke-5, inipun mengundang tidak sedikit pertanyaan. Berita sudah tercium, bahkan oleh media, semenjak beberapa minggu sebelumnya. Namun, suara-suara hati dari dinding kampus pun banyak yang berteriak. Bagaimana seorang tokoh yang pernah 'dikeluarkan' dari sebuah universitas dapat menerima gelar kehormatan tinggi dari universitas yang sama. Ketika pada jaman itu, beliau dikeluarkan oleh pihak kampus karena kuasa seorang ayah yang diturunkan secara paksa, maka bolehkah kita menilai dimanakah perlindungan sebuah institusi pendidikan terhadap keberpihakan seorang mahasiswa? Ya, memang intervensi besar diterima oleh kampus tersebut, namun bukankah saudara besarnya dapat sedikit dilindungi oleh kampus biru diseberangnya. Dan ketika saat ini, beliau menerima gelar kehormatan akademik tertinggi oleh universitas yang sama karena kiprah puluhan tahun yang memang dapat dirasakan oleh rakyat, bolehkah tetap ada pertanyaan mengapa pemberian gelar tersebut diberikan ketika beliau menjadi penguasa kembali, ketika menjadi pucuk pimpinan dari partai penguasa dan presiden saat ini. Bolehkah ada pertanyaan bagaimana institusi pendidikan bukan hanya menjilat masa lalunya sendiri namun juga menjilat penguasa negeri ini?

Bukanlah ada tersirat untuk meragukan kedua pemimpin negara tersebut. Keduanya telah terbukti dalam memerintah pemerintahan dan negara ini sesuai dengan caranya masing-masing. Serta pula telah terbukti menyatukan rakyat melalui demokrasi melalui definisi mereka sendiri pula.
Yang menjadi pertanyaan bukan kapasitas kedua tokoh besar tersebut yang diragukan, namun mengapa institusi pendidikan bukan menjadi goa suci yang didalamnya tersimpan kebenaran yang akan terus-menerus digali, kawah candradimuka dimana menjadi tempat tertinggi menggapai mimpi melalui perjuangan diri. Mengapa institusi penjunjung tinggi kebenaran dan kehormatan seolah-olah turut serta menjadi bagian dari para penjilat sang penguasa negeri, bukan menjadi tokoh terdepan penyuara hati rakyat melalui kebenaran akademik yang dianutnya? Jadi, dimanakah tuan institusi itu sesungguhnya harus berada?

Masihkah kita boleh bertanya demikian?

Selasa, 29 Maret 2016

Untuk Seseorang Di Sana

"Sudahkah terlalu lama kita berdiam?
Katamu akan hilang itu semua kelam
Namun tampaknya lukanya terlalu dalam
Padahal yang kau inginkan kenyamanan yang tak bermacam-macam
..."

Hening kemudian.

Ketika kau turun dari panggung, baru tepuk tangan kecil mengiringmu. Penonton tampaknya tak sadar bahwa bacaanmu telah selesai. Atau mungkin mereka menginginkan akhir cerita yang indah. Barangkali itu juga keinginanmu, namun apa daya.

Segelas air mineral menunggumu. Ya, sejak pertama kukenal kau seperti jatuh cinta pada minuman tak berasa itu.
Lelah seolah menghampirimu tiba-tiba. Wajahmu menjadi sangat berbeda dengan wajahmu saat kau berada di panggung tadi. Rangkaian kata selalu membuatmu memasuki dunia lain, seolah menyuntikkan mantra yang penuh dengan semangat dan kekuatan dari dunia yang tak pernah dilihat oleh manusia lainnya.

"Minumlah.."
Dalam sekejap segelas air dihadapanku berpindah ke kerongkonganmu yang putih dan selalu mempesona pria manapun.

"Kau bahkan tak menyapa dan menanyakan kabarku.", katamu sambil menuangkan kembali air ke dalam gelas.
Aku terdiam.
"Kau hanya menyuruh apa yang sebenarnya ingin kulakukan. Aku haus, kau menyuruhku minum. Aku lelah, kau sediakan kursi untukku. Aku rindu, kau hadir di depan mataku. Tapi mengapa kau tak pernah menyapaku? Tidakkah kau tahu itukah yang kuinginkan?"

Aku hanya tersenyum kecil.

"Mengapa kau kemari? Bukankah kau pernah berjanji bahwa takkan pernah hadir kembali? Oh iya, aku lupa, kau seringkali mengingkari apa yang kau katakan. Mengingkari karena yang kau katakan sebenarnya kebohongan. Tapi mengapa setiap kata bohongmu selalu diikuti dengan sinyal yang memberitahuku bahwa itu kebohongan. Itukah yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?"

"Bicaralah!! Jangan kau hanya menjadi singa di tempat lain tapi menjadi pengecut di depanku. Bukankah kau yang selalu bilang bahwa manusia selalu harus bersuara. Manusia hanya boleh diam ketika menikmati hidup, bukan ketika dilahap oleh kehidupan dunia. Manusia sejatinya harus bersuara karena suara lah yang memberikan makna. Makna lah yang dapat memberikan jawaban atas setiap pertanyaan dalam hidup. Atau sudah lupakah kau atas ucapanmu sendiri?"

"Minumlah.."
"Hentikan! Aku tak mau kata itu keluar lagi. Jangan kau seolah terus-menerus membaca apa isi otakku. Aku tak mau mendengar apa yang ingin kulakukan."
Kau ambil kembali gelas itu dan kau minum perlahan-lahan. Tak berapa lama, kudengar irama nafasmu yang sudah sudah tenang.

Kuraih tangan kecilmu. Kuusap punggung tanganmu yang halus seperti sutera. Kutatap matamu dalam-dalam..
"Masih sederhanakah hidupmu?"

"Ingatlah bahwa aku masih berjalan dalam jalan yang sama. Aku tak pernah berubah. Ya, berubah itu pasti. Namun perubahanku adalah perubahan yang mengubah sekitarku, bukan sekitar yang mengubahku."
"Ketika haus, minumlah. Ketika lelah, duduklah. Ketika kau ingin berteriak, kau harus. Masih sesederhana itukah hidupmu? Atau serumit itukah rindumu? Sehingga menghalangi setiap keinginanmu? Sapa lah ketika rindu."

"Karena aku juga menginginkannya", kataku dalam hati seraya melangkah pergi.