Senin, 16 Desember 2013

Sang Suara

Bukan kali ini saja aku merasa seperti ini. Perasaan ketika aku membaca tulisanmu, aku seperti seorang yang sedang diperhatikan dari belakang. Entah siapa itu, tapi kuharap itu adalah kamu...

--
Kudengar samar-samar sebuah nama kusebut. Ya, terlalu samar-samar, bahkan oleh telingaku sendiri. Aku tak terlalu yakin apakah mulutku mengucapkannya dengan benar atau tidak. Suara yang seperti tertahan itu seperti suara yang keluar akibat leher tercengkeram kuat. Sedikit melirik, kupastikan bahwa leherku baik-baik saja. Kali ini aku terhenyak bahwa suara yang keluar dari mulutku ini adalah akibat dari ketidakpercayaanku.

Terkadang, secara sengaja, aku menguji Suara itu. Suara yang selalu datang ketika aku memejamkan mata. Entah mengapa belakangan ini Suara itu terdengar semakin sering dan semakin keras di hatiku. Bukan sembarang aku menulis mendengar di hati. Meski seringkali aku mendengarnya melalui telingaku, suatu saat aku ingin tahu apakah Suara itu benar-benar kudengar. Saat kupejamkan mata, aku mulai merasakan bahwa telingaku seperti tak berada pada posisi yang benar karena aku mendengar Suara seperti berasal dari bawah kepala, seperti dari dalam jantungku. Makin kuat kupejamkan mata, makin kuat suara itu terdengar olehku. Suara itu makin kuat hingga membuat tubuhku bergetar. Aku tak sanggup...

Lain waktu aku mencoba untuk menguji apakah benar suara itu berasal dari hati. Kali ini aku tak pejamkan mata, namun aku sedikit bertaruh atasnya. Aku mencoba membuang undi untuk mengetahui apakah suara itu membawaku ke arah yang benar atau sebaliknya. Sesaat aku ragu tapi tetap saja rasa penasaran dan pemikiran logis ku mencoba mengalihkannya. Keputusan yang keluar dari hasil undi itu memang berkata kebalikan dari Suara yang kudengar. Akupun memilih untuk mengikutinya dan kau tahu apa yang kemudian terjadi? Hariku saat itu menjadi hancur. Kau takkan tahu rasanya bagaimana hancurnya rencana yang kau susun untuk suatu jadwal yang tak boleh bergeser dan berakhir dengan berantakan semuanya. Ya, aku merasakan kekecewaan sangat mendalam saat itu. Seandainya aku mengikuti Suara yang kudengar tentu tak begini hasilnya. Matahari telah lama tenggelam ketika aku berhadapan di tempat aku mengujinya, kali itu aku menyerah dan mengakui kesalahanku. Dan kudengar kembali suara itu, "Kau bukan menguji, namun mencobai. Janganlah membuang undi atas aku, Suara itu."

--
Ketidaktahuanku, yang berlanjut kepada rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan di otakku, telah mendapat jawaban kali ini. Jawaban yang menjawab pertanyaanku sekaligus menimbulkan pertanyaan dan rasa ingin tahu yang lebih besar lagi. Kurasa aku tahu bahwa konsekuensi dan jawaban apapun harus kuterima atas segala pertanyaanku. Aku tak bisa membuat jawaban itu harus sesuai dengan keinginanku. Ya, aku terlampau kecil untuk mengerti Sang Suara dalam waktu yang singkat.

Terima kasih untuk kamu yang telah memberikan jawaban kepadaku kali ini. Kurasa jawaban itu bukan hanya untuk ku namun juga untuk mu. Aku merasa kita berdua sedang menghadapi pertanyaan besar yang akan terus semakin membesar seiring dengan jawaban yang kita terima. Pertanyaan itu seperti menyiratkan bahwa kita sedang dalam jalan yang benar. Semoga...

kuharap itu adalah kamu dan Sang Suara...

Sabtu, 14 Desember 2013

Kebenaran dalam Segelas Bir

Kali ini bukan aku saja yang sedikit melihat dunia dengan sedikit berbayang, kawanku W juga sepertinya sudah memasuki dunia yang sama denganku. Memang benar dia yang mengajakku ke tempat ini dan dia pula yang lebih berpengalaman dibandingkan aku. Namun kali ini pengaruh atas kami sepertinya sudah melebih keseriusan kami ketika datang, senyuman sudah banyak menghiasi wajah kami. Tak lupa senyuman pelayan yang sangat hangat mengantar kami menyelesaikan banyak topik perbincangan..

Bagiku, bukan hal sulit untuk merasakan keramaian dan kegembiraan, bukan juga hal yang sulit untuk merasakan kesendirian. Namun kebersamaan itu sulit datang diantara keduanya ketika aku sedikit menolaknya. Hanya sedikit saja, padahal.

Dua gelas bir membawa kenikmatan tersendiri bagi kami. Dapat menikmati bir di kerajaan bir memang hal yang sangat istimewa. Disini bir bukanlah hal yang tabu, seperti layaknya di tempatku berasal. Bukan hanya karena bir disini lebih nikmat dibandingkan disana (cola saja lebih nikmat disini, beberapa orang bilang karena di tempatku berasal harganya harus disesuaikan sehingga bahannya pun sedikit berbeda), namun terlebih karena orang-orang disini sudah menikmatinya untuk konsumsi sehari-hari dan tidak ada kelakuan yang aneh-aneh akibat mengkonsumsi minuman segar ini sehingga tidak ada pula stigma negatif terhadap minuman ini. Terlebih karena harganya yang sangat murah.

Kau tahu, bukannya aku ingin berada di tempat ini untuk menikmati segelas bir saja, aku rasa kali ini aku hanya menikmati sedikit keinginanku tanpa meninggalkan tanggung jawabku. Artinya, sepertinya di tempat ini aku diberi kebebasan yang bertanggung jawab atas kelakuanku. Aku bisa menikmati apa yang tidak terlarang bagiku dan yang menjadi hiburan bagiku, terlebih karena aku bisa mengendalikan hingga diposisi mana aku boleh merasakannya. Suatu anugerah tersendiri ketika kita bisa memperolah kebebasan seperti itu, kebebasan yang bertanggung jawab.

Di dalam diriku pun aku sangat percaya bahwa apa yang kudapat hingga saat ini pun bukan hanya karena kebebasan memilih yang diberikan kepadaku (beserta konsekuensinya), namun juga karena dorongan Semesta yang selalu diberikan padaku. Entah bagaikmanapun bentuknya tapi aku merasakannya dan mengetahuinya bahwa itulah yang menjadi dasar bagiku untuk selalu terus melangkah. Tiap kali ada orang yang tidak percaya kata hati, dia takkan percaya pada keberadaan Semesta. Karena bagi dia, kata hati merupakan bentuk lain dari dalam hati kita. Sementara aku selalu percaya bahwa tiap kita selalu ada yang mengendalikan, yang bersuara melalui hati kita masing-masing. Jadi ketika ada saat dimana aku merasa terlalu ramai atau sepi di dunia ini, aku tahu kemana aku harus melangkah. Langkah yang selalu berasal dari hati. Dan hingga kini tak pernah salah. Karena salah merupakan kata yang menghapuskan kata benar..

Tidak seperti bir yang mendapatkan stigma baik dan buruk dalam lingkungan yang berbeda (meski kita tahu konsekuensi dari hal tersebut), kata hati merupakan persoalan benar dan salah. Kurasa saat ini pun kau takkan tahu apa yang kumaksud, karena bukanlah perkataanku yang dapat membuatmu mengerti namun kata hatimu sendiri lah yang akan membuatmu mengerti hingga pada saatnya kau akan memahami apa yang kumaksud kali ini... Semoga

Selasa, 03 Desember 2013

Didalam Dua Dunia

Baru beberapa menit yang lalu aku mengalami sesuatu yang mengherankan. Secara tiba-tiba ketika aku berjalan di lorong depan kamarku, aku seperti terhisap secara cepat ke mesin waktu. Gambaran cepat begitu nyata akan apa yang kulakukan hari ini. Diantara dua dunia.

Tergambar jelas tadi pagi ketika aku pindah-pindah bis dan kereta untuk menuju suatu tempat pada pagi buta. Bagaimana aku menunggu bis dalam kedinginan suhu dibawah nol derajat celcius. Bagaimana aku menaiki hingga pemberhentian selanjutnya dan berganti kereta bawah tanah. Hingga bagaimana aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan yang licin sisa dari pertarungan air dan udara. Entah bagaimana semuanya tergambar secara cepat dalam hitungan detik. Dan tiba-tiba aku serasa tak tahu ada dimana...

Aku sadar saat ini sudah kembali berjalan di lorong. Dan beberapa langkah kemudian..

Aku kembali terhisap dalam beberapa minggu yang lalu, saat aku menaiki pesawat untuk menjelajah ke negeri yang aku sendiri tak tahu bagaimana bentuknya. Untuk kemudian menunggu dan berganti dengan pesawat yang lainnya. Lama sekali kurasa perjalanan setengah dunia ku kali ini. Perjalanan yang saat itu tak sanggup kubayangkan. Ini bukan perjalanan ke daerah-daerah, seperti yang biasa kulakukan sendirian. Saat itu aku percaya bahwa perjalanan panjang itu akan membawa perubahan besar bagiku. Ya, percaya...

Kembali gambaran perjalananku itu tergambar jelas dalam sekian detik dan membawaku lupa akan dimana aku berpijak sesaat. Sepersekian detik aku menjadi linglung dan tak tahu dimana aku berada.

Dalam beberapa langkah aku masih 'terhilang' dalam pencabutan roh-ku. Ya, kali ini aku seperti tercabut roh dari badanku. Aku merasakannya.

Sesaat sebelum kubuka pintu kamarku, aku tersadar dan kembali teringat dimana aku berada saat ini. Keberadaanku yang telah jauh dari yang selama ini kualami. Meski selalu berada dalam mimpiku pada waktu lalu, namun kenyataan saat ini adalah buah dari mimpi masa lalu.

Aku kembali diingatkan bahwa keberadaanku saat ini bukan hanya milik-ku semata. Bukanlah badan yang diutus pergi namun roh-ku, yang terus percaya bahwa tiap mimpi pasti akan terwujud, juga turut beserta denganku. Bukan hanya usaha yang kuperlu, namun juga harapan. Dua dunia yang terus membayangiku. Namun kurasa, kali ini aku hidup bukan diantara dua dunia lagi tetapi aku seperti berada didalam dua dunia itu.

Jangankan perjalanan mengelilingi dunia, tiap langkahku pun telah diatur. Kupercaya..

Jumat, 23 Agustus 2013

pejam

bicaralah pada dirimu
bukan dirimu yang berada di kantor
bukan pula dirimua saat bersama kawanmu
dirimu disaat seperti ini, saat sendiri

kau adalah dirimu
ketika mampu mendengar suara denyutmu
atau hembusan nafasmu
dan menyadari bahwa kau hanya sesuatu

sosok hina yang selalu hilang
tenggelam dalam gelapnya dunia
dunia yang hanya bertopeng tawa
namun penuh hina dina papa nista

yang menakutkan adalah
sekalipun ketika kau menyadarinya
kau tak dapat berbuat apa-apa
hanya melihat merasa dan seolah hanya menerima

saat dimana kesendirian adalah ilusi
hanya kondisi semu yang meliputimu
sambil menertawakan tingkahmu
yang tak tahu dimana kau berada

cukuplah terpejam, saudara
waktu kau melihat hitam dalam kelopakmu
dan mulai berkata
berbicara pada dirimu

kau tak sendiri..

Jumat, 26 Juli 2013

Kemewahan Diantara Telapak Tangan

Baru saja pelayan kafe ini pergi setelah memberikan menu kepadaku, dia datang dengan muka berserinya. Sedikit terlambat namun tak menyurutkan hasratku untuk melihat wajah yang sudah tiga minggu ini tak kujumpai. Bibir tipisnya tersenyum hangat seolah tak terjadi apapun selama kami tak bersama. Bukan hanya aku saja, menurut kawan-kawannya pun, dia memang wanita yang kuat berpendirian. Bukan pembenaran, namun tampaknya hal itu yang membuat aku tertarik kepadanya. Sangat sulit buatku menemukan patner yang sangat cerdas dan bisa diskusi denganku seolah tak ada waktu yang menghentikan. Aku selalu ingat hembusan nafas panjangnya tiap selesai mengucapkan pandangan dia terhadap lingkungan sekitarnya. Hembusan nafas seolah-olah sinis terhadap penyelewengan manusia akan kodratnya, manusia yang menutup mata akan kebenaran dan ketidakmauan belajar dari hidup.

Kali ini hembusan nafasnya kembali terdengar tepat ketika dia telah duduk dihadapanku. Aku tahu bahwa dikondisi seperti ini adalah waktu yang tepat untuk dia mengeluarkan rokok putih kesukaannya dan menghisapnya dalam-dalam, meski urung dilakukannya. Buat kami, merokok hanya salah satu sarana melepaskan emosi. Dalam beberapa waktu yang lalu, ujung diskusi kami soal rokok pun seperti telah berhenti pada satu titik temu. Banyak sarana melepaskan emosi dan rokok adalah satu yang kami sukai, dan itu berarti bahwa rokok bukan menjadi satu-satunya keharusan. Sangat tidak masuk akal buat kami ketika ketergantungan terhadap sebatang tembakau dan cengkeh yang nikmat. Itu juga yang mungkin membuat kami hidup bersama seperti saat ini, hidup dan berhubungan tanpa ada ketergantungan yang sangat satu sama lain. Kami menikmatinya.

Terekam jelas di ingatanku awal mula kami sama-sama menyatakan bahwa tidak tergantung terhadap benda apapun. Dalam satu restoran makanan negeri sakura itu kami membahas keinginan dan mimpi kami. Mimpi besar dua anak muda dari beribu mimpi di negeri ini. Keinginan mendalam bahwa tak ada yang dapat menghalangi kami untuk menggapainya. Sudah menjadi barang langka di generasi ini bahwa anak muda dapat sukses dalam mendapatkan apa yang ada di angannya tanpa terlarut dalam kehidupan gila ini. Kehidupan gila yang seolah menghapus kata idealisme dan digantikan dengan nilai-nilai konyol yang ada di masyarakat. Entah apapun itu, apakah uang, jabatan, atau kekuasaan (menguasai manusia lainnya); itulah yang kami pandang sebagai nilai konyol berkehidupan. Nilai yang dipakai untuk memandang manusia lainnya dan terlebih lagi hidup untuk mengejar nilai itu. Mungkin memang ada sinisme dalam perbincangan kami. Sinis yang cenderung menertawakan kelakuan banyak anak muda yang tak memiliki arah dalam hidup. Banyak diantara kawan kami yang menganggap bahwa arah hidup ditentukan pada saat selesai menempuh kuliah dan tak tahu kemana setalah itu, sehingga hidupnya yang telah ditentukan saat masuk ke dunia teknik pun digadaikan ke dunia lain yang lebih terang benderang persoal gaji dan kemewahan, terlebih dunia perbankan (keuangan, finansial, moneter) yang dulu mereka anggap sebelah mata sewaktu sekolah menengah. Sementara kami menertawakan kehidupan macam itu, terselip niatan kami untuk tidak terjerumus terhadap kehidupan konyol macam itu. Kami masih mempunyai mimpi yang sama dengan mimpi saat kami ingin masuk ke jurusan teknik tertua di kampus kami. Sedikit banyak itulah cara kami untuk hidup mengambil konsekuensi pilihan kami dan hidup sesuai keinginan kami. Kemewahan kami terletak pada pikiran dan hati kami. Dan semenjak itu kami tahu bahwa untuk mendapatkannya, kami harus terus berjuang dan tak bergantung pada satu apapun. Perjuangan terletak pada diri kami dan diantara kedua telapak tangan kami yang terlipat untuk restu semesta.

Pertemuan terakhir tiga minggu yang lalu pun seolah-olah menjadi peristiwa yang berat bagi kami. Hari besar dimana dia telah selesai menempuh jenjang pendidikannya. Saat itu kami berpikir bahwa kami takkan bertemu lagi. Dia tetap akan di kota ini untuk bekerja namun disaat yang bersamaan aku tahu bahwa aku harus meninggalkannya bersama dengan kota yang penuh dengan kenangan ini. Ketika itupun rasa sedih sedikit tersirat diantara gembiranya menyambut hari besar nya. Kedatangannya kali ini pun menjadi harga mati dari perpisahan kami. Entah untuk berapa lama kami takkan bertemu namun aku harap di tangan indah itulah masa depan akan bersama kami.

Kamis, 18 Juli 2013

Manusia Tanpa (Peduli) Kelamin

Sedari kecil kita, setidaknya saya, sudah paham cerita tentang awal mula kehidupan. Dimana Adam hidup berpasangan dengan Hawa. Manusia pertama yang seorang laki-laki terlihat tidak baik kalau sendirian sehingga disandingkanlah dia dengan seorang perempuan yang sepadan. Manusia pertama yang berpasangan dengan pasangan yang diberikan penciptanya supaya mereka akan menjadi lebih baik, di mata sang pencipta. Semenjak mendengar cerita itu pula, sepertinya telah tertanam dalam hidup saya bahwa manusia diciptakan berpasangan, laki-laki dengan perempuan. Setidaknya sampai sekarang pun saya masih percaya.

Namun percaya bahwa penciptaan manusia secara berpasangan pun bukan berarti menjadikan berpasangan itu sebagai tujuan kita hidup. Bukan berarti kita hidup hanya untuk berpasangan saja. Entah mengapa, sebagian dari kita justru mematok bahwa milestone berpasangan itu menjadi kehidupan kita yang sebenarnya, kehidupan yang baru. Lihat saja ketika ada keluarga atau kawan yang menikah, pasti banyak ucapak pernikahan dengan kata-kata 'menempuh hidup baru'. Yang jadi pertanyaan, kehidupan baru macam apa sih yang akan dijalani? Kehidupan yang membosankan ketika sudah merasa memiliki pasangannya atau kehidupan yang menarik ketika semakin mengenal pasangannya, tentu dengan segala konsekuensi dari kata 'pasangan' seperti keluarga besar, pergaulan, budaya dll.

Ketika menginjak 'masa kawin', saat dimana umur kita (menurut pendapat umum sekitar kita) sudah menginjak waktu untuk menikah, pasti ada saja pertanyaan seperti
"Hai, a. Udah ada pacar belum? Kapan nikah?". Biasanya diajukan oleh temen atau kerabat yang sudah menikah.
"Kamu itu jangan mikirin karir terus. Buruan nikah lah, ntar keburu tua lho." Tante-tante temen mama yang ketemu saat liburan. Biasanya dijawab dengan senyuman, belum pernah dijawab dengan "Oiya, Tante. Anak Tante masih single?"
"Lo kapan nikah oi?! Keburu busuk menggantung tuh.. Hahaha.." Yang biasanya berani kaya gini sih pasti sohib bangsat yang sudah terjerumus dalam lembaga pernikahan. Suruh buruan kita nikah biar dia ada temen senasib.
Meski tahu niat mereka sebenarnya baik, namun sepertinya sedikit rumit ketika akan menjelaskan ketika belum ada pikiran untuk nikah sama sekali.

Setali tiga uang, ketika berteman pun terkadang sudah menjadi terdakwa. Saat baru berkenalan dengan orang baru seperti sudah terpatri di benak mereka seolah-olah mengenalnya hanya untuk memacari yang kemudian dilanjutkan dengan menikahi atau bercinta dengannya. Terlebih ketika berkenalan dengan sosok yang perbedaan umurnya agak jauh. Resmi itu, meski otak kita lurus-lurus aja, bisa jadi otak mereka udah aneh-aneh prasangkanya.

Memilih untuk belum menikah bukan berarti tidak akan menikah, kan? Kalau sampai saat ini tidak mempunyai niat untuk menikah bukan juga perlu dikasihani atau perlu dihakimi. Bahwa ada laki-laki dan perempuan pun benar adanya, namun tidaklah salah ketika pandangan saya masih berputar soal manusia, tanpa peduli kelamin mereka. Saat terindah adalah ketika kita bisa berbincang banyak dengan manusia lain tanpa ada motivasi tertentu. Hanya untuk berbincang, hanya untuk bertukar pikiran, hanya untuk menjalin persahabatan; dengan melihat sosok manusia nya saja.