Jumat, 26 Juli 2013

Kemewahan Diantara Telapak Tangan

Baru saja pelayan kafe ini pergi setelah memberikan menu kepadaku, dia datang dengan muka berserinya. Sedikit terlambat namun tak menyurutkan hasratku untuk melihat wajah yang sudah tiga minggu ini tak kujumpai. Bibir tipisnya tersenyum hangat seolah tak terjadi apapun selama kami tak bersama. Bukan hanya aku saja, menurut kawan-kawannya pun, dia memang wanita yang kuat berpendirian. Bukan pembenaran, namun tampaknya hal itu yang membuat aku tertarik kepadanya. Sangat sulit buatku menemukan patner yang sangat cerdas dan bisa diskusi denganku seolah tak ada waktu yang menghentikan. Aku selalu ingat hembusan nafas panjangnya tiap selesai mengucapkan pandangan dia terhadap lingkungan sekitarnya. Hembusan nafas seolah-olah sinis terhadap penyelewengan manusia akan kodratnya, manusia yang menutup mata akan kebenaran dan ketidakmauan belajar dari hidup.

Kali ini hembusan nafasnya kembali terdengar tepat ketika dia telah duduk dihadapanku. Aku tahu bahwa dikondisi seperti ini adalah waktu yang tepat untuk dia mengeluarkan rokok putih kesukaannya dan menghisapnya dalam-dalam, meski urung dilakukannya. Buat kami, merokok hanya salah satu sarana melepaskan emosi. Dalam beberapa waktu yang lalu, ujung diskusi kami soal rokok pun seperti telah berhenti pada satu titik temu. Banyak sarana melepaskan emosi dan rokok adalah satu yang kami sukai, dan itu berarti bahwa rokok bukan menjadi satu-satunya keharusan. Sangat tidak masuk akal buat kami ketika ketergantungan terhadap sebatang tembakau dan cengkeh yang nikmat. Itu juga yang mungkin membuat kami hidup bersama seperti saat ini, hidup dan berhubungan tanpa ada ketergantungan yang sangat satu sama lain. Kami menikmatinya.

Terekam jelas di ingatanku awal mula kami sama-sama menyatakan bahwa tidak tergantung terhadap benda apapun. Dalam satu restoran makanan negeri sakura itu kami membahas keinginan dan mimpi kami. Mimpi besar dua anak muda dari beribu mimpi di negeri ini. Keinginan mendalam bahwa tak ada yang dapat menghalangi kami untuk menggapainya. Sudah menjadi barang langka di generasi ini bahwa anak muda dapat sukses dalam mendapatkan apa yang ada di angannya tanpa terlarut dalam kehidupan gila ini. Kehidupan gila yang seolah menghapus kata idealisme dan digantikan dengan nilai-nilai konyol yang ada di masyarakat. Entah apapun itu, apakah uang, jabatan, atau kekuasaan (menguasai manusia lainnya); itulah yang kami pandang sebagai nilai konyol berkehidupan. Nilai yang dipakai untuk memandang manusia lainnya dan terlebih lagi hidup untuk mengejar nilai itu. Mungkin memang ada sinisme dalam perbincangan kami. Sinis yang cenderung menertawakan kelakuan banyak anak muda yang tak memiliki arah dalam hidup. Banyak diantara kawan kami yang menganggap bahwa arah hidup ditentukan pada saat selesai menempuh kuliah dan tak tahu kemana setalah itu, sehingga hidupnya yang telah ditentukan saat masuk ke dunia teknik pun digadaikan ke dunia lain yang lebih terang benderang persoal gaji dan kemewahan, terlebih dunia perbankan (keuangan, finansial, moneter) yang dulu mereka anggap sebelah mata sewaktu sekolah menengah. Sementara kami menertawakan kehidupan macam itu, terselip niatan kami untuk tidak terjerumus terhadap kehidupan konyol macam itu. Kami masih mempunyai mimpi yang sama dengan mimpi saat kami ingin masuk ke jurusan teknik tertua di kampus kami. Sedikit banyak itulah cara kami untuk hidup mengambil konsekuensi pilihan kami dan hidup sesuai keinginan kami. Kemewahan kami terletak pada pikiran dan hati kami. Dan semenjak itu kami tahu bahwa untuk mendapatkannya, kami harus terus berjuang dan tak bergantung pada satu apapun. Perjuangan terletak pada diri kami dan diantara kedua telapak tangan kami yang terlipat untuk restu semesta.

Pertemuan terakhir tiga minggu yang lalu pun seolah-olah menjadi peristiwa yang berat bagi kami. Hari besar dimana dia telah selesai menempuh jenjang pendidikannya. Saat itu kami berpikir bahwa kami takkan bertemu lagi. Dia tetap akan di kota ini untuk bekerja namun disaat yang bersamaan aku tahu bahwa aku harus meninggalkannya bersama dengan kota yang penuh dengan kenangan ini. Ketika itupun rasa sedih sedikit tersirat diantara gembiranya menyambut hari besar nya. Kedatangannya kali ini pun menjadi harga mati dari perpisahan kami. Entah untuk berapa lama kami takkan bertemu namun aku harap di tangan indah itulah masa depan akan bersama kami.

Kamis, 18 Juli 2013

Manusia Tanpa (Peduli) Kelamin

Sedari kecil kita, setidaknya saya, sudah paham cerita tentang awal mula kehidupan. Dimana Adam hidup berpasangan dengan Hawa. Manusia pertama yang seorang laki-laki terlihat tidak baik kalau sendirian sehingga disandingkanlah dia dengan seorang perempuan yang sepadan. Manusia pertama yang berpasangan dengan pasangan yang diberikan penciptanya supaya mereka akan menjadi lebih baik, di mata sang pencipta. Semenjak mendengar cerita itu pula, sepertinya telah tertanam dalam hidup saya bahwa manusia diciptakan berpasangan, laki-laki dengan perempuan. Setidaknya sampai sekarang pun saya masih percaya.

Namun percaya bahwa penciptaan manusia secara berpasangan pun bukan berarti menjadikan berpasangan itu sebagai tujuan kita hidup. Bukan berarti kita hidup hanya untuk berpasangan saja. Entah mengapa, sebagian dari kita justru mematok bahwa milestone berpasangan itu menjadi kehidupan kita yang sebenarnya, kehidupan yang baru. Lihat saja ketika ada keluarga atau kawan yang menikah, pasti banyak ucapak pernikahan dengan kata-kata 'menempuh hidup baru'. Yang jadi pertanyaan, kehidupan baru macam apa sih yang akan dijalani? Kehidupan yang membosankan ketika sudah merasa memiliki pasangannya atau kehidupan yang menarik ketika semakin mengenal pasangannya, tentu dengan segala konsekuensi dari kata 'pasangan' seperti keluarga besar, pergaulan, budaya dll.

Ketika menginjak 'masa kawin', saat dimana umur kita (menurut pendapat umum sekitar kita) sudah menginjak waktu untuk menikah, pasti ada saja pertanyaan seperti
"Hai, a. Udah ada pacar belum? Kapan nikah?". Biasanya diajukan oleh temen atau kerabat yang sudah menikah.
"Kamu itu jangan mikirin karir terus. Buruan nikah lah, ntar keburu tua lho." Tante-tante temen mama yang ketemu saat liburan. Biasanya dijawab dengan senyuman, belum pernah dijawab dengan "Oiya, Tante. Anak Tante masih single?"
"Lo kapan nikah oi?! Keburu busuk menggantung tuh.. Hahaha.." Yang biasanya berani kaya gini sih pasti sohib bangsat yang sudah terjerumus dalam lembaga pernikahan. Suruh buruan kita nikah biar dia ada temen senasib.
Meski tahu niat mereka sebenarnya baik, namun sepertinya sedikit rumit ketika akan menjelaskan ketika belum ada pikiran untuk nikah sama sekali.

Setali tiga uang, ketika berteman pun terkadang sudah menjadi terdakwa. Saat baru berkenalan dengan orang baru seperti sudah terpatri di benak mereka seolah-olah mengenalnya hanya untuk memacari yang kemudian dilanjutkan dengan menikahi atau bercinta dengannya. Terlebih ketika berkenalan dengan sosok yang perbedaan umurnya agak jauh. Resmi itu, meski otak kita lurus-lurus aja, bisa jadi otak mereka udah aneh-aneh prasangkanya.

Memilih untuk belum menikah bukan berarti tidak akan menikah, kan? Kalau sampai saat ini tidak mempunyai niat untuk menikah bukan juga perlu dikasihani atau perlu dihakimi. Bahwa ada laki-laki dan perempuan pun benar adanya, namun tidaklah salah ketika pandangan saya masih berputar soal manusia, tanpa peduli kelamin mereka. Saat terindah adalah ketika kita bisa berbincang banyak dengan manusia lain tanpa ada motivasi tertentu. Hanya untuk berbincang, hanya untuk bertukar pikiran, hanya untuk menjalin persahabatan; dengan melihat sosok manusia nya saja.