Minggu, 28 Juni 2015

Halaman Rumah

Kembali ke rumah selalu menjadi momen yang menyenangkan. Seharusnya.

Di tempo lampau, pada sore hari tatkala hujan belum reda sepenuhnya dan kami hendak pergi meninggalkan kampus, beliau juga selalu mengucapkan itu. Penuh sarat, penuh makna. Utamanya ketika obrolan itu tentang hidup.

Dan tetap saja ada waktunya merasakan hal yang tak seharusnya terjadi. Rentang masa ketika kita berada di rumah dimana kita besar namun tak merasakan kembali rasa yang menyenangkan itu.

Sudut-sudut rumah yang penuh kenangan oleh ulah masa kecilmu dan laku tiap wajah yang kau kenal telah hilang entah kemana, semuanya seolah terasa asing bagimu.

Dan ketika pikiranmu yang seolah-olah telah lebih banyak berkembang di luar rumahmu itu kemudian beradu dengan pikiran-pikiran yang kau pandang sempit karena terkungkung dinding rumah.

Pikiran yang terbentuk oleh karena pikiran-pikiran dalam rumah yang mengirimmu untuk mengejar dunia yang penuh warna di luar sana namun kemudian kembali dan tak dapat menyatu.

Dan ketika setiap katamu selalu menjadi bentuk "no, i don't" bagi rupa yang telah melahirkanmu. Dan setiap kata yang keluar darinya seolah dalam bentuk tanda seru dan penuh hardikan bagimu.

Dan kemudian akhir dari pembicaraan selalu tampak kekecewaan dari sorot matanya dan pada akhirnya juga rasa penyesalan darimu.

Meski dalam rasa sesal itu terselip seuntai rasa keyakinan atas kebenaran yang kita anut.

Dan ketika laku tiap sosok yang mengenalmu semenjak kecil juga seolah menjadi sosok yang berbeda ketika mereka merangkulmu dulu. Kesenangan yang sama tak kau dapatkan lagi.

Dan ketika kau diperlakukan bukan lagi menjadi sosok dirimu yang bertumbuh dari atap yang sama namun menjadi sosok tamu asing yang pergi dan pulang dalam hitungan waktu yang tak lama.

Dalam doamu sudah seharusnya kau sebut tiap hal yang terjadi itu.

Ya, bahkan ketika berada di ribuan kilometer jauhnya dari tempat ini. Kuharap doa yang kupanjatkan dulu, kemarin, saat ini, dan esok akan selalu sama.

Ketika kau harapkan bahwa ketika pikiran-pikiran memang akan terus berkembang dan tak lagi sama (takkan pernah sama), maka cinta yang ada di tiap diri akan selalu sama dan semakin membesar.

Dan ketika tak dapat kubagi pikiran yang ada, maka tetap dapat kubagi cinta yang ada ini dengan berbagai bahasanya.

Sekelebat terbayang masa depan. Ingatkan aku ketika dalam cinta yang akan kurajut dalam rumah baruku esok harus selalu ada cinta yang sama juga sebagai dasar untuk bersatu meski tetap berbeda sebagai jarak. Bukankah gedung yang kokoh ditopang oleh pilar yang sama namun mempunyai jarak diantaranya?

Ketika rasa rindumu juga dapat kau antarkan ke masing-masing hati mereka di rumah ini. Untuk kemudian dapat dirajut menjadi sebuah rasa kekeluargaan yang bahagia. Yang olehnya kau mengerti arti seorang manusia dan memahami apa yang harus kau lakukan sebagai seorang manusia.

Dan kemudian dapat berbagi cerita satu sama lain meski tak seluruhnya dapat saling memahami. Tak melarang adalah keindahan terbesar dalam langkah hidupmu meski tetap ada keinginan bahwa dari mulut merekalah akan keluar jawaban atas pertanyaan yang kau cari.

Dan ketika setiap dari kita pergi jauh dengan pikiran yang akan makin berkembang entah kemana akan seolah-olah kita sedang keluar ke halaman depan saja dan sedang melangkahkan kaki ke pintu untuk mengetuknya dan kembali bersama.

Ketika seorang tua mengatakan bahwa rumah adalah dirimu yang membesar, maka doa harapan ini selalu tergantung di langit-langit rumah ini dan menerangi tiap darinya yang berlindung di dalamnya.

Pada saatnya akan selalu menyenangkan kok. Ketika kau mencari, kau akan menemukan. Terkadang, kau pergi jauh hanya untuk menemukan jalan pulang. Dan tak mungkin kan kau tersesat di halam depan rumahmu sendiri :)