Senin, 08 Oktober 2012

Nikmatilah Akuarium Kesendirianmu

Beliau masih belum bergerak dihadapanku. Sudah dua jam lamanya aku datang ke rumah ini dan berbincang dengannya. Lama tak kukunjungi Akung-ku satu ini, semenjak aku pergi belajar ke luar negeri atas perintahnya juga. Kali ini aku datang karena rasa rinduku untuk menatap wajahnya yang selalu tersenyum. Ah, mungkin itu hanya pembenaran karena sebenarnya, jauh didalam lubuk hatiku, saat ini aku sangat membutuhkan sedikit kata-katanya yang selalu bermakna untuk diriku.

Tetapi sudah 10 menit dia terdiam sambil menatap hamparan taman dan suara gemercik air, seolah dia memberiku waktu untuk mencerna ucapannya tadi. Perkataannya tentang hidup, tentang belajar, juga tentang keluarga ini.

"Memang terkadang kita hidup seolah sendiri", tiba-tiba dia berbicara. Matanya masih memandang ujung jauh taman rumah ini.

Aku menatapnya. Terdiam. Bukan kali ini saja aku terhenyak mendengar ucapannya yang tiba-tiba. Ucapannya yang membuatku merasa bahwa dia sedang membaca pikiranku. Dan kali ini pun sama.

"Banyak kawan, banyak sahabat, banyak saudara juga keluarga; namun kita merasa sendiri. Sepertinya semua yang ada di sekitar kita sedang dipisahkan oleh dinding kaca dengan diri kita." lanjutnya.

"Apakah Akung pernah mengalaminya?", ujarku cepat seolah tak mau aku kecolongan kalau-kalau pertanyaan itu dipertanyakan terlebih dahulu kepadaku.

..

"Sampai sekarang. Buat Akung, hal itu pasti selalu terjadi di sepanjang hidup kita. Memang tidak setiap waktu kita merasa terpisah dengan lingkungan namun harus ada satu waktu dalam hidup kita untuk kita bisa sendiri, dipisahkan dari dunia ini dan memahami kembali semua yang terjadi di dalam hidup kita. Memanfaatkan waktu sejenak untuk berada dalam 'akuarium' diri kita dan melihat apakah diri kita sedang di tempat yang benar. Tempat dimana seharusnya kita berada."

"Akung menikmati itu?"

"Ya. Harus."
"Kalau kamu tidak menikmatinya, pasti ada yang salah dengan keberadaanmu dan apa yang sedang kau lakukan."

Aku sejenak terdiam..
"Akung percaya dengan persaudaraan, persahabatan, dan cinta?"

"Tidak semua orang mendapatkan ketiganya itu. Akung yakin kamu pasti percaya ketiganya itu dan Akung pun begitu. Akung punya keluarga, punya saudara yang selalu mendukung dan ada. Akung banyak teman, banyak sahabat, bahkan beberapa diantaranya sudah seperti saudara. Dan Akung juga punya satu cinta."
..
"Buat Akung, ketiganya punya peran masing-masing. Akung punya keluarga dan saudara yang tak pernah Akung tinggalkan dan meninggalkan Akung. Akung punya banyak teman yang tak pernah ada habisnya di sepanjang hidup dan banyak diantaranya adalah teman dekat Akung hingga saat ini. Akung punya sahabat-sahabat dan beberapa diantaranya bahkan seperti saudara karena tak pernah ada khianat diantara kami. Sebagian besar memang akung-akung yang pernah kamu kenal, Akung hanya punya sedikit teman wanita yang menjadi seperti saudara karena Akung berpikiran bahwa tidak ada sahabat wanita, yang ada hanya teman wanita dan saudara. Terlebih setelah Akung mendapatkan Abo-mu yang menjadi satu-satunya cinta yang harus dimiliki. Namun terlebih dari ketiganya itu; diatas dari persaudaraan, persahabatan, dan cinta; masih ada satu tingkatan paling atas yaitu kasih. Akung bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal dan percaya pada yang namanya kasih dalam hidup Akung."

"Akung beruntung telah mendapatkan pengalaman dapat mempercayai semuanya itu dan Akung yakin kamu pasti akan memperoleh 'gift' itu seperti Akung. Kalau ada saat kamu bingung oleh kesemuanya itu, janganlah takut dan ragu, yang kamu perlukan hanya terdiam dan kembali ke 'akuarium'-mu", ujarnya sambil tersenyum.


Samar-samar aku mendengar alunan musik lawas era Akung-ku, Back At Your Door-nya Maroon 5, dari dalam rumah..
...
All alone with the negligee
That still hangs off of my bed
I keep meaning to give it away
But I just leave it there instead

No need to cry about it
I cannot live without it
Every time I wind up back at your door

Why do you do this to me?
You penetrate right through me
Every time I wind up back at your door
...

Kamis, 02 Agustus 2012

Jika Seandainya Kebetulan Itu Ada, Pasti Tetap Ada Maksud Dibaliknya

Kau tahu bagaimana perasaan seseorang ketika sudah lama tak bertemu dengan orang yang sangat dikaguminya? Bagaimana besarnya keinginan seseorang itu menatap wajahnya dan mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya?

Satu hal yang kuingat bertahun-tahun ketika setiap kata yang terucap darinya selalu membuatku terpana dan tersadarkan dengan segera. Sadar akan apa yang sedang kuhadapi dan harus kulakukan. Sosok yang telah lama tidak kutemui di bangku gereja ini seakan kembali hadir di Minggu sore ini. Meski sore ini sepertinya menjadi sore yang sangat sibuk dan banyak alasan keengganan yang bergelayut untuk mencegahku hadir dalam gedung sakral ini, seperti minggu-minggu sebelumnya, namun kali ini tetap saja langkah kakiku tetap berpacu dan membawaku hadir dalam ruangan gereja ini...

Kali ini kursi paling ujung di ruangan ini menjadi temanku. Dialah yang satu-satunya kosong, seakan menunggu kehadiranku yang sering melupakannya. Aku duduk tepat ketika sosok itu berdiri di mimbar yang sangat jauh dariku. Aku langsung mengenalinya dari paras dan tubuhnya yang semakin menua, yang seakan membuatnya semakin berkuasa atas tempatnya berdiri. Ya, saat inilah kurasakan kantuk yang menghampiriku semenjak beberapa jam yang lalu berubah menjadi perasaan rindu yang terobati. Aku bertemu dengannya setelah sekian lama.

Seketika aku terdiam ketika dia mulai mengucapkan kata demi kata. Diam, karena dalam hening itu aku dapat bersiap untuk menerima setiap katanya, setiap arti di dalamnya dan setiap maksudnya. Karena ketika dia berbicara, kursi yang berjarak paling jauh dari mimbar tempat dia berdiripun seakan tiada artinya, seakan kau berdiri dihadapannya, muka bertemu muka, mata bertemu mata.

'Hai! Kita bukan orang yang mencari jatidiri, jatidiri kita jelas! Kita anak Allah! Jadi lakukanlah segalanya sesuai dengan jatidiri kita itu! Kau punya kejujuran, integritas, lakukanlah itu!'
'Kau hidup dengan iman! Iman seperti apa!? Kau percaya, pikullah salib! Dan tempat dimana Tuhan beri kita talenta adalah tempat yang paling penuh cobaan. Itulah iman!'
'Ketika kau dipanggil dan ditempatkan, terkadang kau tidak akan menjadi diri sendiri. Kau dibentuk seperti yang Tuhan mau.'
'Dimanapun kau berada, kau tidak akan ada artinya ketika kau tidak melayani dan menomorsatukan Tuhan'

Ya. Siapapun pasti terguncang ketika kau mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang kau ucapkan dalam kesendirianmu.
Kuhampiri dia ketika kebaktian selesai. Kujabat erat tangannya dan terbalaskan bak sepasang sahabat. Dalam bincang-bincang singkat itupun, kuutarakan sedikit rencana di benakku. Dan sekali lagi jawaban sekaligus pesan darinya membuatku semakin terguncang. 'Ya, belajarlah kau dengan benar, jangan lakukan karena gengsi.'

Dalam pelarian pulangku, kusimpan kalimat-kalimat yang disampaikannya dan mencoba memahami maksudnya lebih lagi. Inikah yang disebut dengan dua jam yang kebetulan? Kebetulan-kebetulan yang kebetulan? Aku percaya kebetulan itu tidak ada. Karena jikalau kebetulan itu ada, aku tetap mendapatkan apa yang aku cari.


*thanks to ev AR
*thanks to You that besides has brought him to me, You'd take me to You (again).

Sabtu, 16 Juni 2012

Sambutlah Duniamu!!!

Telah cukup masamu dalam kesendirianmu. Kesendirian dalam menuju kedewasaanmu dalam satu dimensi, saatnya kau menuju ke dimensi yang lain. Dimensi dimana kau akan mendapat hubungan baru akan sesamamu dan melewatinya dengan sekejap. Ya, sekejap ketika kau akan mengerti dimensi sekejap ini akan berpindah ke dimensi yang baka, dimensi terakhir itulah yang sedang aku gapai saat ini. Kau akan mengerti saat kau disini nanti, beberapa saat lagi.

Bersyukurlah senantiasa karena kau akan berada dalam satu kuasa yang akan membuatmu memahami arti dirimu sebenarnya. Kau takkan menyesal berada disini, karena untuk suatu tujuan semata kau dihadirkan dalam singkatnya dimensi ini.

Berbahagialah selalu karena kau mendapat sesuatu yang luar biasa. Ketika kau memainkan jari jemarimu, kakimu, tubuhmu, otak kirimu; kau bersukacita akan hal itu. Terlebih, sukacita itu bukan hanya akan hadir dalam hatimu, namun setiap makhluk yang hidup dibawah langit ini akan merasakan hal yang sama. Bukan tanpa sebab hal itu akan terjadi. Ketika kau berseru lirih, bersenandung kecil, berikan nada dalam kata, bahkan berseru Haleluya sekalipun; kau akan merasakan hal yang berbeda, rasa dimana damai itu ada, damai untukmu, untuk kami, dan untuk seluruh makhluk.

Maka jangan biarkan lelah mengikutimu, jangan biarkan dunia meracunimu. Bukan hal baru bahwa dunia ini gelap. Selalu ingatlah bahwa gelap hanya ketiadaan dari terang.

Segera kemarilah! Keluarlah dari dimensimu dan berteriaklah bersama kami!! Teriakkan seruan kemenangan dan  yang berketetapan tunggal!!
Ayo, Flo!! Sambutlah duniamu!!!

Jumat, 17 Februari 2012

Ego Sebuah Pinta

Malam ini, tepat ketika suhu dingin sisa hujan sepanjang hari tadi tergantikan dengan udara malam yang juga dingin menusuk hingga ke tulang. Meski sama-sama dingin namun dingin keduanya beda. Jangan tanya kenapa, aku hanya ingin ungkap yang kurasakan.

Berlindung dibalik tebalnya jaket dan penutup kepala kesayanganku, aku merasakan ada kehangatan di dalam pikirku. Aku tahu bahwa lama kita tak bersama. Bukan tanpa alasan aku pergi. Aku tahu yang kulakukan meski sebenarnya aku berharap tak melakukannya. Aku menunggu maafmu, bahkan hingga saat ini. Namun apa daya, tak semua keinginan manusia dapat menjadi nyata dan tak semua manusia juga dapat (berani) melakukan apa yang dipikirkannya. Karena sejatinya kita adalah makhluk berdosa yang enggan mengakui kesalahan meski tahu bagaimana kebenaran itu harus ditegakkan. Butuh tekad ekstra untuk hal itu.

Saat ini aku tahu bahwa berat sangatlah beban yang kau pikul. Tekanan senantiasa bertambah dalam kenyataan di depan matamu. Aku tahu terkadang kau rasa sendiri, dan aku tahu kau butuhkan keberbagian. Namun kali ini aku tak dapat membantu. Bukan karena tak mau tapi kurasa aku tak bisa untuk berbuat banyak tanpa tahu bahwa perbuatan yang kulakukan itu berguna bagi sesama. Kali ini aku hanya menunggu pintamu. Jangan ragukan sedikitpun tentang kepercayaan dan kesetiaanku. Barangkali aku hanya takut; akan diriku, kau, atau bintang yang melihatku jauh diatas sana.

"Mintalah, maka akan kau dapatkan..
*egoku bukan hanya untuk kepentinganku, untuk mu juga. barangkali juga ini bukan ego.*

Selasa, 07 Februari 2012

Bukankah Kita Masih Berbudaya?

Pernah aku terpikir, ketika aku masih ada di rumah, bahwa kalau aku kuliah nanti dan kos sendiri, aku bisa melakukan banyak hal tanpa ada yang melarang. Aku bisa pulang malam semalam-malamnya tanpa peduli tetangga, bisa makan dengan cara apapun, bisa pergi dan pulang rumah tanpa permisi, bisa ngomong apapun seenak jidat dan banyak hal yang mungkin bisa kulakukan tanpa peduli orang sekitarku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kehidupanku tidak jauh berbeda. Memang aku bisa pulang kapanpun, bisa ngomong apapun, bisa melakukan apapun; tapi ternyata tetap aku harus peduli dengan sekitarku. Tak bisa aku pergi pulang tanpa permisi dengan ibu kos atau tanpa menyapa teman kos ketika bertemu mereka atau tak bisa aku tak pedulikan mereka yang berada disampingku. Entah itu karena disebut ajaran atau kebiasaan, tapi kusadari itulah nilai yang pernah kudapat dan diberikan kepadaku. Itulah budaya bagiku.

Tatkala saat ini sedang berlangsung masa dimana orang banyak tak peduli dengan asal muasal, silsilah nenek moyang atau aturan keluarga; sedikit banyak aku sedih dengan kondisi itu. Banyak yang berpikir kita hidup di jaman modern, yang menonjolkan kemampuan individu yang dipunyai, dan karya mandiri yang membuat satu nama kita dikenang oleh banyak orang. Mereka yang sebagian berkata bahwa jaman telah berubah. Dahulu menjadi tren bahwa makan ngga makan asal kumpul, slogan dimana kekuatan bersama digalang melalui rasa emosional bersama; dan sekarang semua berubah ketika orang harus mempunyai kompetensi diri untuk dapat menggapai semua impiannya. Tak peduli bagaimana perangai terhadap sesamanya, asal dia berkompeten dan menghasilkan karya, dia bisa menjadi manusia besar. Entah mana yang benar. Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa kita ada karena ada keluarga yang menurunkan semuanya kepada kita, termasuk budaya. Memang terkadang ada yang merasa tak diturunkan apa-apa oleh keluarganya, namun itulah yang telah diturunkan, itulah budaya yang diberikan. Mengenai benar atau salah, itulah yang harus kita pikirkan dari sebuah kebudayaan. Kebudayaan dan peradaban harus selalu maju terus dan budaya akan selalu berkembang secara bersama-sama, bukan secara individu.

Ketika yang muda tak mau menghormati yang tua, karena merasa benar bahwa jaman saat ini adalah jaman yang diberikan padanya. Atau ketika yang tua tak mau mendengar kebenaran dari yang muda hanya karena kemudaannya. Maka semuanya ini menjadi suatu kemunduran dari suatu budaya dan peradaban suatu komunitas, terlebih bagi suatu bangsa.

Kita tak bisa menentukan dimana dan oleh siapa kita lahir. Terlebih tak bisa pula kita tentukan nilai apa yang diberikan pada kita. Namun kita diberikan budaya, nilai, dan tanggung jawab. Kita diberikan akal dan rasa sebagai manusia sebagai bagian dasar dalam penentuan kemajuan atas nilai dan budaya yang kita dapatkan.


*ditulis sebagai bagian perenungan kondisi saat ini sebagai bagian dalam proses penerima budaya bagiku dan penerus budaya dari seorang ibu yang senantiasa memperjuangkan pendidikan dan kebudayaan bagi keluarga, sekitar, dan bangsa. Selamat atas penghargaannya, Mi!! :)

Kamis, 26 Januari 2012

Telapak Tangan

Satu kali ketika aku melihat telapak tanganku, aku merasa ada yang beda. Kupandang dan kuamati dengan cermat memang terasa mirip telapak tangan yang kulihat dengan telapak tanganku, namun kutahu dengan pasti kalau itu bukan telapak tanganku. Bukankah terasa aneh melihat telapak tanganmu tetapi bukan milikmu? Kubalik dan kuamati lebih dalam lagi. Yang aku tahu, telapak tangan memang berbeda tiap manusia, terutama sidik jari yang tak mungkin sama. Bulu-bulu halus pada punggung tangan ini memang mirip denganku, bulu halus sedikit panjang namun tak lebat dengan sedikit hitam terbakar matahari. Sangat mirip denganku tapi aku sangat yakin ini bukan telapak tanganku, meski berada pada tanganku. Kubalik kembali. Kulihat warna putih kemerah-merahan seperti telapak tanganku. Guratan-guratan yang sama dengan milikku, yang oleh beberapa orang pernah disentuh, diraba, dan diterjemahkannya kepadaku. Kata seorang pertama kepadaku, ketika aku masih bersekolah sepuluh tahun yang lalu, bahwa aku akan menjadi orang muda yang sukses dan bla bla bla. Aku anggap dia sedang memujiku, atau mengujiku. Tak selang berapa bulan kemudian, ketika aku hampir meninggalkan kota kelahiranku untuk melanjutkan kuliah, orang kedua menghampiriku ketika malam hari aku sedang makan di sebuah warung pinggir jalan langgananku. Orang tua berambut putih jarang dengan tiba-tiba duduk disebelahku. Selesai dia makan dan berbincang (sangat wajar oleh masyarakat di kota kelahiranku untuk menyapa orang yang makan bersama dengannya meski tak mengenalnya), dia berkata kepadaku bahwa dia akan membiayai pendidikanku hingga aku tamat dan dia tak ingin pamrih apapun. Sontak tawaran itupun ditampik dengan halus dan senyuman oleh orang tua ku. Sejak saat itu aku tak mau lagi telapak tanganku diramal, dibaca, atau apapun namanya itu. Aku tak ingin menghadapi ujian masa depan yang harus kutanggung hari ini. Dan telapak tanganku ini seharusnya memang masih berada di tanganku saat ini karena aku memang masih hidup tetapi kenyataan yang kulihat sekarang bukanlah telapak tanganku yang ada saat ini namun telapak tangan orang lain yang kukenal. Ya, aku merasa sangat mengenal telapak tangan ini. Sangat mirip denganku namun bukan punyaku. Kali ini sejenak kututup mataku dan perlahan-lahan kubuka kembali. Aku takut kalau semua ini hanya ilusi atau mimpi. Kembali kupandang, masih sama dengan yang kulihat tadi. Namun kali ini semakin aku menatapnya cermat-cermat, aku makin merasa mengenalnya. Terasa ada yang beda namun aku tak tahu apa itu. O Tuhan, apakah yang terjadi? Terhentak ketika aku tersadar bahwa ketika aku pejamkan mataku tadi, aku pun masih melihat telapak tangan ini. Cahaya yang ada tak bisa membuat gelap memasuki mataku. Ku lihat tepat di telapak tangan ini sebuah lubang bekas paku, dan kutahu milik siapa telapak tangan ini. Tanganku, telapak tanganku, namun bukan milikku. Tak mampu kubendung air mataku karena aku tahu siapakah aku sebenarnya.
Ini aku, Tuhan. Pakai aku. Karena aku milikMu.

Selasa, 17 Januari 2012

Entah... (Sebuah Kisah Tentang Kisahmu)

Terkadang memang ada masa dimana kita dipaksa untuk memikirkan kembali konsekuensi dari pilihan kita. Memikirkan kembali risiko yang datang, bukan berarti harus meragukan keputusan yang telah kita ambil. Masa itu akan datang ketika kita rasa hidup sedang terasa berat.

Ketika kau rasa sendiri, dan berat sedang ada bersamamu. Kau harus hadapi, bahkan ketika kau sendirian tanpa ada kawan bagimu. Atau meski kau tahu bahwa ada kawan bagimu, tapi tetap saja kawan tak selamanya selalu bisa disampingmu walau doa dan semangat mereka bersamamu, kadang memang kita butuh sosok disampingmu yang menemanimu. Karna, sehebat-hebatnya teknologi yang memperpendek ruang dan waktu, kau tetap tak mampu menuliskan perasaanmu pada setiap tuts yang ada dihadapanmu atau berbicara pada benda mati yang menghubungkan kalian.

Kisahmu adalah kisahmu, yang hanya kau ketahui. Akan diperbolehkan diketahui orang ketika kisahmu dapat menjadi semangat bagi sesamamu. Di luar itu, semuanya akan tidak akan diperbolehkan karena hanya akan berupa bak kalimat tanpa makna.

Jadilah kisahmu sendiri atas segala yang kau pilih. Jangan takut, jangan ragu, karena takut dan ragu hanya milik orang yang tak punya kebenaran.