Sabtu, 28 Februari 2015

So, Next..??

Sepanjang hari ini tatapan kosongmu tak lepas dari ingatanku. Tatapan ketika perbincanganku dengan Tante L mengenai rencana tinggalku di kota ini. Sekilas aku melirik ke arahmu dan kusadari bahwa wajahmu telah berbeda,hanya tatapan kosong yang kulihat.

Kau tahu bahwa sesungguhnya aku pun tak tahu berapa lama aku akan tinggal di sini. Rencanaku semula, semenjak kedatanganku ke kota ini dua tahun yang lalu, yang seharusnya membawaku kembali ke kota asalku saat ini seolah sirna dalam hitungan minggu. Aku tahu aku berada di mana saat ini, di situasi bimbang.

Dalam hitungan hari di beberapa minggu ini kau menjadi alasan mengapa rencanaku berubah. Tentu,itu bukan salahmu. Aku masih tetap berpegang bahwa rencanaku bukanlah rencana yang dirancang oleh Semesta. Dan kebimbanganku kali ini membawaku dalam pertanyaan apakah engkau termasuk dalam rencana yang disusun Semesta untukku.

Hal mudah untuk memutuskan dan menuruti apa yang di depan mata. Namun, bukankah kita diajarkan oleh Semesta untuk selalu belajar padanya. Bukan yang di depan mata namun apa yang sebenarnya diberikannya kepada kita. Sungguh ini terlampau sulit bagiku. Tapi bukankah, lagi-lagi, kita pernah diajarkan bahwa apa yang diberikan kepada kita selalu disertai dengan penyertaan setiap waktu yang disediakannya. Kau punya mimpi, kau berusaha, dan Semesta akan besertamu karena sesungguhnya di dalam Semesta itulah kita berada.

Bukan hal mudah juga ketika mengingat beberapa belas tahun yang lalu ketika aku memutuskan menyerahkan hidupku. Saat itu, hingga sekarang, aku tahu bahwa hidupku bukanlah milikku. Menyerahkan hidup bukan hanya menyerahkan setiap rencanaku namun juga harus diartikan bahwa aku harus memahami rencana yang disusunnya untukku. Hidup ini telah menjadi miliknya. Aku hanyalah roh yang dia tiupkan ke dalam raga ini.

Mencari suara dari Semesta adalah hal mutlak. Namun,memang, terkadang kita juga diminta bukan hanya untuk mencari suara namun juga masuk dalam keheningan dan belajar memahami bersamanya. Di titik ini aku sadar bahwa ketika kau hadir dalam hidupku itu juga merupakan bagian dari rencananya. Tapi aku tak tahu apakah pendewasaan kita bersama juga merupakan bagian dari rancangan Semesta atau tidak. Alangkah indahnya kalau dapat terwujud. Barangkali kau lah bentuk bidadari yang sempat diucapkannya kepadaku.

Kali ini sosokmu menjadi pertimbangan terbesarku dalam proses pertanyaanku dan pencarian jawabku. Kuharap namamu menjadi bagian dari rancangan besar yang telah ditunjukkannya kepadaku. Nama yang akan menjadi bagian dari hidupku hingga akhir hayatku. Nama yang bukan hanya tercantum pada kertas suci di altar gereja namun juga nama yang akan terhias dalam batu nisan kita.

Seperti kuingat pada setiap momen kepindahanku ke kota lain. Dia selalu mengingatkanku bahwa jika aku sudah selesai melakukan apa yang harus kulakukan di satu kota maka memang saatnya aku harus berpindah, namun jika memang belum saatnya maka sebagaimanapun aku berusaha maka aku tetap tak akan berpindah. Kali ini kuharap kau tetap menjadi bagian dari rencana yang manapun. Kuharap ini bukan hanya egoku, ini keinginanku. Dan doaku.

Bolehkah kali ini aku bertanya kepada Semesta, "Apa selanjutnya..?"

Jumat, 20 Februari 2015

Tahun Baru

November 2014, tokoh di dunia pendidikan yang didaulat menjadi menteri pendidikan dasar kembali mengingatkan kita bahwa merayakan Indonesia adalah melunasi janji kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan gagasan untuk bersatu. Nasionalisme bukan karena darah namun karena gagasan. Menjadi Indonesia tidak harus kehilangan kejawaannya, keminangannya, kepapuaannya; tidak harus hilang identitasnya.

Merayakan tahun baru hari ini merupakan salah satu wujud untuk tidak menghilangkan identitas jati diri bagi sebagian rakyat di negeri ini. Meski berpuluh tahun tidak dapat merayakannya dengan bebas dan terbuka, namun era yang baru telah membawa banyak perubahan dalam usaha untuk menanamkan identitas itu. Menguatkan identitas diri bukan berarti melemahkan identitas yang lain. Memahami diri sendiri seharusnya menjadi sisi keping mata uang lain untuk memahami sesama.

Jauh di negeri seberang, sudah dua tahun tak kujumpai ucapan selamat dan hormat di pagi hari, berbagai makanan khas khusus tahun baru, hingga tradisi yang tak boleh menyapu rumah. Rindu sepertinya melakukan hal itu, terutama dilakukan  di rumah bersama keluarga. Namun apa hendak dikata,ribuan kilo terpisah menjadi hambatan untuk mewujudkannya. Sedikit yang bisa kulakukan adalah melakukan semua kebiasaaan-kebiasaan itu meski tanpa keluarga. Kalau tak dapat melakukannya bersama keluarga, setidaknya yang bisa kulakukan adalah menghadirkan suasananya di tempatku berada saat ini.

Terlebih dari itu, menghadirkan tradisi dan kebiasaan dapat memelihara rasa akan identitas yang kusandang. Meski banyak hal telah berubah namun nilai yang pernah ditanamkan padaku dapat kupelihara. Apalah gunanya identitas ketika kita tidak menjaganya.

Selamat tahun baru!!
Gong Xi Fa Cai