Rabu, 04 Maret 2015

A Chance in The Divided City

Hembusan angin keras awal bulan Maret membuatku merapatkan diri ke dinding bangunan tua ini. Kali ini aku sedikit ragu untuk menemuimu di dalam cafe di sisi sungai Spree ini. Memang tak lama kemudian aku masuk dan mendapatimu berada di sisi kaca depan, terlindung kolom beon besar dari arahku datang. Sejenak kuamati engkau dan kupastikan bahwa wajahmu tetap sama seperti dahulu. Tirus ayu dan senyum yang mengembang. Kuingat pernah ada masa-masa di mana senyummu tak mengembang dan bibirmu menguncup seolah penuh gejolak emosi. Itu bukanlah dirimu yang kukenal. Aku mengenalmu sebagai seorang yang penuh tawa meski terkadang di dalamnya tersimpan sebersit duka.

Tak lama setelah kupesan kopi hitam kesukaanku, kudatangi meja di mana kau berada. Kupikir kau akan tahu mengapa kali ini kupesan kopi hitam,bukan cappucino seperti biasanya. Perbincangan mengenai masa lalu akan berat dan kuharap kepahitannya akan dapat digantikan oleh pahitnya segelas kopi hitam.
"Hai. Apa kabar, Ge?", sapaku sambil menghancurkan lamunmu ke arah sungai.
"Hai. Kabarku baik. Kamu bagaimana?"
"Baik. Tetap partikel bebas." jawabku.

Kuharap kau akan ingat bahwa partikel bebas seperti kita, yang mengidam-idamkan kemerdekaan diri dalam pemikiran dan laku, akan tetap menjadi bebas. Kebebasan yang bukan dipahami sendiri atau bersama, namun bebas karena kau tahu bahwa arahmu bukanlah kau yang tentukan namun Semesta yang tentukan. Kuharap kau mengingatnya.

Kau hanya tersenyum tipis. Dari sunggingan senyummu, aku tahu bahwa kau merasa aku menyindirmu karena kejadian waktu itu. Namun, di sisi lain, aku juga yakin bahwa itu juga menandakan bahwa kau masih Ge yang kukenal. Kami adalah partikel yang sama ketika kami bertemu dulu.

Pertemuan awal yang tak ada kesan berarti, namun beberapa saat setelahnya aku sangat sadar bahwa dia sangat mirip denganku. Sangat mirip dalam hal pemikiran, tingkah laku, dan prinsip. Bahkan dalam memandang hidup pun, kuakui bahwa dia sangat mirip denganku. Mungkin itu yang membuatku tertarik dengannya. Kau dapat bayangkan bagaimana kau bertemu dengan dirimu dengan sosok yang berbeda. Kau merasa seolah dapat mengerti apa yang dipikirkannya, apa yang diperjuangkannya,dan bahkan apa yang akan dijawabnya jika orang lain menanyakan sesuatu.

Ketika berbicara mengenai toleransi, kau sangat menyentuhku karena seolah aku merasakan perasaan yang sama ketika melihat manusia lain di sekitar kita. Ketika dalam persoalan kepercayaan kepada Tuhan, aku pun sedikit takjub ketika apa yang kita lakukan dalam beribadah ternyata mempunyai pemaknaan yang sama. Aku menemukan bagaimana pemaknaan yang kudapat tentang Allah juga sesuai dengan apa yang kau jalani. Bahkan, ketika kecenderungan menonton serial film atau buku pun, aku masih tak percaya bahwa kau semirip itu denganku. Aku yang bukannya tak sabar (meskipun iya) tidak dapat menunggu episode selanjutnya tanpa tahu kapan akan tamat. Dalam perenunganku terkadang aku merasa bahwa ini menjadi indikasi sederhana bagaimana aku memandang hidup. Bukan hal yang saklak, namun aku merasa bahwa aku mengetahui bagaimana kisah hidupku akan berakhir. Aku ingin berakhir bersama semesta, tentu aku tak dapat mengetahui secara pasti dalam tiap detail menuju garis akhir itu. Itu mengapa aku merasa perenungan dan pemaknaan kita tentang hidup sangatlah mirip.

--

Hampir setengah gelas sudah kuminum kopi hanta di depanku, kau masih seolah belum masuk ke topik yang kau inginkan. Obrolan yang kau sodorkan masih seputar perbincangan umum dan perkembangan dunia belakangan ini.

Sepertinya kita sama-sama tahu bahwa mau tak mau kita akan masuk ke pembahasan yang karenanya kita bertemu kembali di kota ini.

"Kau tahu, Al. Kalau aku masih seorang gadis kecil, ingin rasanya meminta doraemon untuk bisa kembali ke masa lalu. Terkadang aku membuat keputusan yang sedikit mengecewakan, bukan hanya untuk mereka orang-orang yang kukasihi namun juga untukku sendiri."

"Seandainya waktu itu aku sedikit lebih bijaksana, mungkin aku akan membuat membuka setiap kesempatan yang ada dan meyakinkan diriku bahwa aku akan berada bersama satu dari semua kesempatan yang kubuka. Bukan hidup dengan menentukan kesempatan dan berusaha menjalaninya."

"Namun aku tahu kalau waktu tak dapat berbalik dan diputar kembali. Aku saat ini adalah aku hasil keputusanku masa lalu. Tapi aku juga tahu bahwa pencerahan selalu ada bagi mereka yang mencarinya dan kupikir aku bisa mengucapkannya saat ini karena aku telah menemukannya."

Aku cukup terhenyak dengan rentetan kalimat yang kauucapkan. Kalimat yang penuh makna sekaligus seolah penuh dengan proses tapa brata yang sangat panjang. Aku merasa berada dalam puncak Himalaya yang sunyi dan sepi. Tempat di mana dapat merasakan bagian dari semesta ini. Tempat dimana kau berserah dan mendapatkan. Tempat dimana kau mencari dan menemukan. Tempat dimana kau merasakan kesunyian dirimu dan kau peroleh kemeriahan semesta ada di dalammu.

"Ge, kupikir itu bukan hal yang patut untuk disesali. Keputusan yang kau buat jangan pernah kau sesali meski memang terkadang mengecewakan. Ketika melangkah memang kita akan terjatuh. Namun itu lebih baik daripada kita hanya terdiam dan tak pernah bergerak."

"Aku mengerti bahwa kesempatan harus kita buka. Kupikir, kesempatan mengenalmu adalah anugerah yang indah dalam hidupku. Memang mengecewakan juga bagiku ketika tak lama kemudian anugerah itu kau sendiri yang merenggutnya dariku. Saat itu kupikir tidak adil bahwa kau merenggutnya tanpa mengetahui apa sebenarnya yang kutemukan, bahwa kau sangatlah serupa denganku. Saat itu, sebenarnya, aku hanya ingin kau juga menemukan kalau kau mempunyai sosok yang sama denganmu dalam sosok diriku. Namun apa mau dikata..."

Kuteguk kopiku dalam-dalam. Udara dingin peralihan musim dingin ke musim semi membuat kopi di tanganku mendingin dengan segera tergantikan dengan Americano anyep (dingin air biasa).

"Aku  hanya tak tahu mengapa kau berubah begitu cepat waktu itu. Dalam semalam, kau membuat keputusan yang mengejutkanku. Aku yang belum berbuat apa-apa terpaksa kau singkirkan. Egoku terhasut dan kelelakianku tertantang sehingga apa yang kulakukan pagi harinya membuat semua semakin runyam. Tapi, yah, biarlah semua itu. Semua sudah berlalu dan kupikir saat ini pencerahan sudah menemui kita dan membuat kita berada di tempat ini."

Senyum tipis pun kembali mengembang. Sejenak kau menatap gelas di hadapanmu, kemudian kau kembali berkata,
"Iya. Aku tahu apa yang kulakukan. Oleh karena itu, aku ingin kali ini aku masih dapat membuat keputusan yang berharga dalam hidupku. Aku ingin kembali membuka pintu yang tertutup. Aku ingin kembali mengenal diriku dan memahami semesta ini,bersamamu..."

Aku terdiam. Tak tahu apayang harus kujawab.
Anganku seolah berkata bahwa keinginan yang dulu terpisah kini telah bersatu meski bukan berarti jalan ke depan akan menjadi tanpa hambatan.
Kutatap matamu dalam-dalam dengan berharap kali ini kau dapat memulai menemukan pemikiran kita yang sama. Kuharap kau mendapat jawab melaluinya.

Diujung, kudengar lagu lawas Frank Sinatra yang mengalun pelan.
...
Yes, there were times, I'm sure you knew
When I bit off more than I could chew
But through it all, when there was doubt
I ate it up and spit it out
I faced it all and I stood tall and did it my way

I've loved, I've laughed and cried
I've had my fill, my share of losing
And now, as tears subside, I find it all so amusing
To think I did all that
And may I say, not in a shy way,
"Oh,no, oh,no,not me, I did it my way"

For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly and not the words of one who kneels
The record shows I took the blows and did it my way!



Barangkali itu yang harus kurenungkan.
Kita renungkan...
Tentang sebuah kesempatan.
Dan jalan hidup...

Senin, 02 Maret 2015

Arah

Buyar sedikit lamunanku ketika para pemusik memainkan iramanya di dalam strasse-bahn. Irama yang membuatku mau tak mau sedikit merasakan keriangan yang memang membuat setiap hati bergejolak ketika mendengarnya...

Oh when the saints go marching in
When the saints go marching in
O Lord, I want to be in that number
When the Saints go marching in

Peristiwa kemarin memang membuatku cukup mengejutkan. Hingga saat ini aku masih merasakan seolah-olah semua yang terjadi itu hanya mimpi. Tampaknya aku terlalu mengekspresikannya dengan sangat emosionil. Entah mengapa, mungkin karena memang perasaan yang menjadi sasaran, bukan logika. Kali ini, umur dan masa lalu seolah tak membekas dan terhilang entah kemana. Aku seolah menjadi sosok remaja di Alchemist yang sedang merasakan hembusan angin sorga, jiwa dari Semesta. Seolah hilang jiwa ini mendengar perubahan sikap yang sangat tiba-tiba.

Meninggalkan satu stasiun pusat kota yang hingar bingar, lagu itu pun terbawa pada beberapa baitnya yang penuh gejolak hati akibat kondisi ketidakadilan pada waktu itu. Seolah ingin menggambarkan adanya nuansa protes dalam irama riang, aku pun terjebak dalam nuansa yang sama. Aku tidak percaya bahwa apa yang kuperoleh dalam beberapa hari terakhir akan berujung seperti ini. Aku merasa bodoh.

Ketika yang kau percaya selama ini runtuh maka kau takkan bisa membangunnya kembali dalam sekejap. Kupikir ketika rencana yang diberikan kepadaku telah kujalankan dengan baik dan ketika dahulu kutahu akan bagaimana ending-nya, maka aku sangat yakin bahwa aku harus menjalani perjalanan dan garis akhirnya sesuai dengan apa yang 'kudapat'. Dan ketika seluruh perjalanan sudah kulalui, tikungan terakhir mengatakan bahwa garis akhir yang harus kujalani adalah berbeda dengan rencana semula maka itu cukup mengagetkanku. Tak ada yang sanggup untuk memastikan bahwa tikungan akhir itu benar-benar berubah atau tidak.

Yang kutahu saat ini adalah aku tetaptak berubah di dalam Semesta ini. Setiap rancangan yang kususun bukanlah mengenai aku lagi dan bagaimana hasil akhir harus kugapai, namun semua tentang bagaimana Semesta bekerja dan bagaimana perjalanan kulalui dengan semestinya. Kalau segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku, mengapa aku mesti takut. Tugasku hanya berjalan dan menuju yang garis yang telah ditentukannya kelak. Mencari arah adalah mencari jawab atas segala pertanyaan yang diberikannya keadaku. Ketika pertanyaan diberikan pun sebenarnya arah itu sedang diberikannya pula.

"Kau pernah mengalaminya bersamaku, mengapa kau merasa ragu. Diamlah dan kau akan mengerti kemana kita akan bersama pergi".