Kamis, 26 Januari 2012

Telapak Tangan

Satu kali ketika aku melihat telapak tanganku, aku merasa ada yang beda. Kupandang dan kuamati dengan cermat memang terasa mirip telapak tangan yang kulihat dengan telapak tanganku, namun kutahu dengan pasti kalau itu bukan telapak tanganku. Bukankah terasa aneh melihat telapak tanganmu tetapi bukan milikmu? Kubalik dan kuamati lebih dalam lagi. Yang aku tahu, telapak tangan memang berbeda tiap manusia, terutama sidik jari yang tak mungkin sama. Bulu-bulu halus pada punggung tangan ini memang mirip denganku, bulu halus sedikit panjang namun tak lebat dengan sedikit hitam terbakar matahari. Sangat mirip denganku tapi aku sangat yakin ini bukan telapak tanganku, meski berada pada tanganku. Kubalik kembali. Kulihat warna putih kemerah-merahan seperti telapak tanganku. Guratan-guratan yang sama dengan milikku, yang oleh beberapa orang pernah disentuh, diraba, dan diterjemahkannya kepadaku. Kata seorang pertama kepadaku, ketika aku masih bersekolah sepuluh tahun yang lalu, bahwa aku akan menjadi orang muda yang sukses dan bla bla bla. Aku anggap dia sedang memujiku, atau mengujiku. Tak selang berapa bulan kemudian, ketika aku hampir meninggalkan kota kelahiranku untuk melanjutkan kuliah, orang kedua menghampiriku ketika malam hari aku sedang makan di sebuah warung pinggir jalan langgananku. Orang tua berambut putih jarang dengan tiba-tiba duduk disebelahku. Selesai dia makan dan berbincang (sangat wajar oleh masyarakat di kota kelahiranku untuk menyapa orang yang makan bersama dengannya meski tak mengenalnya), dia berkata kepadaku bahwa dia akan membiayai pendidikanku hingga aku tamat dan dia tak ingin pamrih apapun. Sontak tawaran itupun ditampik dengan halus dan senyuman oleh orang tua ku. Sejak saat itu aku tak mau lagi telapak tanganku diramal, dibaca, atau apapun namanya itu. Aku tak ingin menghadapi ujian masa depan yang harus kutanggung hari ini. Dan telapak tanganku ini seharusnya memang masih berada di tanganku saat ini karena aku memang masih hidup tetapi kenyataan yang kulihat sekarang bukanlah telapak tanganku yang ada saat ini namun telapak tangan orang lain yang kukenal. Ya, aku merasa sangat mengenal telapak tangan ini. Sangat mirip denganku namun bukan punyaku. Kali ini sejenak kututup mataku dan perlahan-lahan kubuka kembali. Aku takut kalau semua ini hanya ilusi atau mimpi. Kembali kupandang, masih sama dengan yang kulihat tadi. Namun kali ini semakin aku menatapnya cermat-cermat, aku makin merasa mengenalnya. Terasa ada yang beda namun aku tak tahu apa itu. O Tuhan, apakah yang terjadi? Terhentak ketika aku tersadar bahwa ketika aku pejamkan mataku tadi, aku pun masih melihat telapak tangan ini. Cahaya yang ada tak bisa membuat gelap memasuki mataku. Ku lihat tepat di telapak tangan ini sebuah lubang bekas paku, dan kutahu milik siapa telapak tangan ini. Tanganku, telapak tanganku, namun bukan milikku. Tak mampu kubendung air mataku karena aku tahu siapakah aku sebenarnya.
Ini aku, Tuhan. Pakai aku. Karena aku milikMu.

Selasa, 17 Januari 2012

Entah... (Sebuah Kisah Tentang Kisahmu)

Terkadang memang ada masa dimana kita dipaksa untuk memikirkan kembali konsekuensi dari pilihan kita. Memikirkan kembali risiko yang datang, bukan berarti harus meragukan keputusan yang telah kita ambil. Masa itu akan datang ketika kita rasa hidup sedang terasa berat.

Ketika kau rasa sendiri, dan berat sedang ada bersamamu. Kau harus hadapi, bahkan ketika kau sendirian tanpa ada kawan bagimu. Atau meski kau tahu bahwa ada kawan bagimu, tapi tetap saja kawan tak selamanya selalu bisa disampingmu walau doa dan semangat mereka bersamamu, kadang memang kita butuh sosok disampingmu yang menemanimu. Karna, sehebat-hebatnya teknologi yang memperpendek ruang dan waktu, kau tetap tak mampu menuliskan perasaanmu pada setiap tuts yang ada dihadapanmu atau berbicara pada benda mati yang menghubungkan kalian.

Kisahmu adalah kisahmu, yang hanya kau ketahui. Akan diperbolehkan diketahui orang ketika kisahmu dapat menjadi semangat bagi sesamamu. Di luar itu, semuanya akan tidak akan diperbolehkan karena hanya akan berupa bak kalimat tanpa makna.

Jadilah kisahmu sendiri atas segala yang kau pilih. Jangan takut, jangan ragu, karena takut dan ragu hanya milik orang yang tak punya kebenaran.