Minggu, 13 Maret 2011

Yang Terbesar dari Manusia

Kefatalan manusia yang terbesar adalah sombong.
Kebodohan manusia yang terbesar adalah menipu.
Kesedihan manusia yang terbesar adalah iri hati.
Kegagalan manusia yang terbesar adalah rendah diri.
Kebanggaan manusia yang terbesar adalah keuletan.
Kehancuran manusia yang terbesar adalah putus asa.
Kekayaan manusia yang terbesar adalah kesehatan.
Ketidakmampuan manusia yang terbesar adalah membayar hutang budi.
Keluhuran manusia yang terbesar adalah memaafkan.
Kekurangan manusia yang terbesar adalah bersungut-sungut.
Kebajikan manusia yang terbesar adalah rela berkorban.


-dari satu buku yang kubaca 50 hari yang lalu-

50 Hari Telah Berlalu

Pagi cerah hari ini. Kumainkan jemariku di atas keyboard laptop ini. Terdengar satu lagu "Kembali PadaMu"-One Way. Rasa itu kembali menyelimutiku ketika kulayangkan pandangan mata ini ke sebelah kiri. Masih terasa seperti kemarin saja ketika kami lakukan foto yang terpajang di meja itu..

24 Desember 2010
"Teng.. Teng..", bunyi bel rumahku terdengar nyaring siang ini. Ku buka pintu rumahku dan ternyata kiriman paket yang kupesan beberapa hari yang lalu telah sampai.
Paket dari Sumatera ini sengaja kupesan untuk makan bersama di Natal kali ini. Sudah lama aku ingin makan bersama sekeluarga dengan hasil keringatku. Aku ingin bersama-sama merasakan apa yang kudapat dari hasil kerjaku. Tak mungkin kulakukan dengan mengajak sekeluarga ke rumah makan karena pasti aku tak boleh membayarnya. Banyak yang lebih berwenang soalnya, hehe..

28 Desember 2010
Semalam aku bilang ke Mami kalau lagi ingin makan soto. Pagi ini sengaja kami bangun pagi-pagi untuk sarapan soto. Kami berempat (Mami, Papi, ko Christ, aku; ci Lina sudah masuk kerja) menuju ke soto di daerah Tipes. Jarang aku makan di tempat ini karena aku punya tempat langganan lain tapi memang disini enak, seperti yang dibilang Mami.
Dan makan pagi itu merupakan terakhir kalinya kami makan bersama.

15 Januari 2011
Pagi ini aku pulang dari kampus. Sepanjang jalan pulang menuju kos, aku selalu terbayang kalau aku akan bertemu dengan seorang kawanku. Sudah lama aku tak bertemu dia karena ada masalah diantara rasa kami ini. Aku memang ingin bertemu dia sejak lama, tapi selalu kondisi menutup keinginan ini. Di otakku selalu terbayang kalau aku akan bertemu dia yang sedang joging pagi ini.
Aku berhenti di jalan depan kos ku. Aku duduk sejenak sambil menunggu nasi kuning yang kupesan untuk makan siang nanti. Tak berapa lama, aku lihat kawanku itu joging melewatiku. Sejenak kami berbincang basa-basi. Masih terasa kejanggalan diantara kami. Tapi yang membuatku terkejut adalah apa yang terbayang di otakku beberapa menit yang lalu menjadi kenyataan. Entah..

16 Januari 2011
Berlanjut dari pertemuan kemarin, siang ini kami bertemu untuk makan siang. Kegiatan rutin yang telah lama tidak kami lakukan.
Dan aku masih ada di tempatnya ketika ada telepon dari Mami.
"Papi sakit.", kata Mami dari ujung sana. Sejenak aku berbincang dengan Mami dan kutahu keadaan di Solo beberapa hari belakangan ini.
Beberapa saat setelah kututup telepon, kembali bayangan itu masuk ke dalam pikiranku. Aku terbayang kalau aku sedang di rumah Solo dan saat itu Papi tidak ada di rumah.
Segera aku buang jauh-jauh bayangan itu, tetapi setiap ada kesempatan di sepanjang hari itu, selalu bayangan itu masuk ke dalam pikiranku. Aku berdoa dan berserah padaNya.

20 Januari 2011
Sore ini aku masih duduk di kampus. Masih kutunggu langit gelap untuk pulang ke kos, aku malas pulang sore itu karena pasti kena macet di jalan.
Ketika aku duduk sendirian itu, kudengar panggilan telepon dari ci Lina.
"Dri, Papi meninggal.", suara itu terdengar bersama isak tangisnya.
Aku masih tak percaya. "Ci, ini serius? Beneran nih?", pikiranku kosong seketika.

Sepanjang perjalanan di kereta, aku tak tahu harus bagaimana. Air mata ini terus mengalir, meskipun aku ingin tegar.
"Dek, kamu harus kuat. Beritahu saya kalau ada yang diperlukan, apapun.", satu dari belasan telepon yang kuterima. Berpuluh-puluh SMS kuterima malam itu untuk menyatakan rasa belasungkawa.
Sejenak aku merasakan penguatan dari Tuhan atas keberadaan mereka semua yang memperhatikanku.
Termasuk pelukan seorang kawan sesaat sebelum aku naik ke kereta. Ingin kubalas pelukan itu, namun aku tak sanggup. Rasa sedih ini sangat dalam, entah. Kami berdua punya cerita yang sama. Meskipun saat ini kami sedang jauh, tetapi dia datang untuk berikan bahunya.
Dan aku hanya berkata, "Kenapa kalau sudah begini semuanya terasa lebih mudah buat kamu?". Maaf.
Aku selalu teringat Papi dan semua yang di Solo saat di sepanjang perjalanan ini.

23 Januari 2011
Tiga hari ini berpuluh-puluh telepon dan SMS yang masuk ke HPku padahal aku tak memberitahu mereka semua, pikiran ini terlalu kalut dengan kejadian yang mendadak ini.
Aku bersyukur pada Tuhan atas pemberian sahabat-sahabat yang perhatiannya sangat besar kepada kami sekeluarga.
Termasuk ketika kulihat seseorang beransel yang memasuki ruangan dan memberikan penghormatan terakhir kepada Papi dan keluarga. Sosok itu telah membuatku kembali bersyukur. Dia seorang diri datang dari Jakarta ke ruangan ini dengan membawa rasa seorang sahabat dan saudara. Dalam hati aku berjanji tuk hormati dia di sepanjang umurku, dialah seorang.
Termasuk seorang sahabat yang selalu meneleponku dari seberang negara sana. Termasuk keluarganya yang memperhatikanku saat ini. Aku tahu, kalau dia pasti datang kesini jika tidak sedang ada ujian. Bagaimanapun ujian kali ini sangat penting baginya dan tak bisa ditinggalkan.
Aku tahu banyak diantara kawan-kawan yang ingin datang ke ruangan ini, namun aku juga tahu kalau peristiwa mendadak ini tak memungkinkan bagi mereka. Aku sangat bersyukur atas mereka yang menyebarkan berita duka ini kepada kawan-kawanku yang lain, mereka yang selalu menelepon dan me-SMS ku setiap waktu, mereka yang memperhatikanku meski tak bisa disampingku, serta mereka yang memilih melanjutkan liburan mereka.
Terima kasih, sahabat-sahabat ku!
Dan aku bersyukur kepada Tuhan atas mereka semuanya. Hanya karena Dia lah!

Pagi ini peti jenazah akan dikebumikan. Terakhir kali kami bersama-sama sekeluarga dalam satu acara. Namun acara kali ini adalah acara perpisahan, perpisahan raga diantara kami. Aku tahu kalau suatu saat nanti kami akan berkumpul kembali di surga bersama-sama dengan Tuhan.
Sejenak aku bersedih, namun kembali aku dikuatkanNya. Dia mengingatkanku pada suatu cerita tentang saat-saat menjelang kematianNya. Sesaat sebelum kematianNya, Dia pernah berkata pada seorang disampingNya bahwa orang tersebut, yang telah mengakuiNya di saat-saat terakhir hidupnya, akan bersama-sama denganNya di surga kekal. Senyum menghiasi hatiku meskipun mata ini tak bisa berhenti menangis. Hatiku bahagia ketika aku sedih.


Beribu orang memberikan penghormatan. Beribu ucapan kedukaan kami terima. Beribu perhatian kami rasakan. Beribu kenangan kami simpan di dalam hati. Beribu ucapan syukur tetap dapat kami ucapkan.
Semuanya hanya ketika KasihMu yang besar menyelimuti kami semua..

Kau tunjukkan kasihMu saat kami membutuhkan.
Kau buat kami percaya bahwa rancanganMu senantiasa benar dan baik bagi semua.
Kau buat pesta yang sangat meriah di atas sana untuk menyambut kadatangan anakMu.
Kau buat kami tak takut lagi akan hari esok.

"Selamat Jalan, Papi."
-50 hari berlalu kepergian dia yang selalu kuhormati, menuju alam kekal bersama Dia yang takkan pernah sekalipun pergi dari hidup kita-

Selasa, 08 Maret 2011

Semoga Akan Selalu Ada..

Ketika mendung semakin bergelayut, mentari pun tertutup.
Mega yang dahulu sejukkan hati, entah hilang kemana.
Waktu terus berjalan, tetapi sang rasa tetap tak beranjak dari tempatnya.
Sedih.

Aku kira semuanya ini tentang otak dan hati.
Memang tak ada yang menang diantaranya.
Karena aku minta keduanya untuk selalu bersama.
Tapi bukan berarti bahagia tak boleh datang.

Karena bahagia itu berarti senyuman.
Sebuah senyum pada bibirku.
Tapi tak ada arti ketika hanya satu bibir yang tersenyum.
Karena dunia milik kita.

Jalan ke bukit telah dipilih, tak ada jalan tuk kembali.
Hanya terjatuh yang hentikan semua.
Hati ini siap untuk melangkah, meskipun otak semakin keras berteriak.
Namun yang terkecilpun bukanlah tak mungkin.

Karena hidup adalah pilihan.
Dan kesalahan merupakan tuntutan atas pilihan itu.
Meskipun maaf tak dapat hapuskan tuntutan, tetapi dapat tenangkan jiwa.
Semoga itu akan tetap ada.

Ekstremnya Perubahan (Cuaca) Sekarang..

Udara beberapa hari ini tampak kurang bersahabat. Cuaca yang panas terik, tiba-tiba saja hujan lebat. Alam bergerak, badan pun bergejolak (opo meneh iki?). Maksudnya, perubahan cuaca yang ekstrem gini mau tak mau bakal berefek pada kondisi badan kita. Udah dari seminggu ini badan berasa tak enak. Sakit tidak, sehat pun bukan. Tampaknya ini kebalikan dari suatu kondisi yang disebut fit. ckck..

Beberapa hari belakangan ini, aku mendengar beberapa kali orang berbicara mengenai gelar. Ada pembicaraan yang kudengar sendiri bahwa kuliah ini (pembicara tersebut sedang kuliah) hanya untuk mencari gelar saja. Bahkan satu dari beberapa orang tersebut sempat berbicara seperti ini, "Apapun yang diminta dosen, turuti saja. Yang penting gelar ditangan."
Hallo? Ada otak nggak di dalam?
Masbro-mbaksis yang tercinta, (tolong dulu!) terserahlah kalian ini kalau kuliah hanya buat gelar saja tapi mbok ya jangan segitu amat ga punya pemikiran sendiri. Dosen juga manusia kok, yang bisa diajak bertukar pikiran. Okelah kalau semisal ada dosen yang ga mau diganggu gugat, tapi hak kita buat memberikan pemikiran kita, entah ujungnya bakal diterima atau tidak.

Kondisi suasana perkuliahan tersebut juga berlanjut pada kondisi kemahasiswaan. Pembicaraan malam hari bersama beberapa mantan mahasiswa kaleng-kaleng (istilah merendah, bukan tidak mau berperan) tentang adik-adik mahasiswa sekarang ini. Sudah lama aku tak berkutat dengan kondisi mereka, tampaknya sudah semakin besar perbedaan antara kami dengan mereka.
Kondisi yang sangat berbeda ketika mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka perbuat sendiri. Parah. Ketika banyak tuntutan akan sosok mahasiswa terhadap kondisi sosial yang ada, mereka bukan hanya tak bisa berbuat banyak, tetapi (bahkan) mereka tak tahu mengapa mereka melakukan tindakan mereka. (Bukankah setiap tindakan kita harus dipertanggungjawabkan?)

Tak bisa kita salahkan kondisi yang ada. Tak bisa kita salahkan sistem yang ada (meskipun salah juga). Karena seharusnya setiap tindakan dan pergerakan didasarkan pada otak dan pikiran kita. Karena (seminimal-minimalnya) kita akan bertanggung jawab terhadap pikiran kita, selain kepada yang empunya kita dan kepada status kita di dunia.

..pada awalnya dimulai dengan pikiran.
menabur tindakan, menuai kebiasaan.
menabur kebiasaan, menuai karakter.
menabur karakter, menuai jalan hidup.
(CPG).

Semakin ekstrem kondisi sekarang ini. Semakin kuatkanlah dirimu supaya tak kaget jika hujan datang ketika mentari bersinar.

Kamis, 03 Maret 2011

Selama Langit yang Sama Masih Menaungi Kita..

Menjadi suatu hari yang sangat berbahagia ketika ada satu kesempatan untuk kembali lakukan apa yang telah lama tidak kita lakukan.

Ada suatu masa ketika kita pernah meneriakkan apa yang ada di otak dan jiwa kita pada dunia kita berpijak; pada kampus ini, pada negara ini. Kita teriakkan apa yang kita anggap benar. Tentang idealisme, tentang tatanan yang ada, tentang kondisi sosial, tentang kritik, tentang pembelaan bagi kaum tertindas, tentang apapun yang terjadi.
Bahagia?
Ya. Ketika kita menyuarakan tentang kebenaran (menurut kita) dan segalanya dapat dipertanggungjawabkan, maka kita akan bahagia meskipun masih banyak perjuangan yang harus dilanjutkan setelah banyak kita bersuara. Tapi untuk bisa bersuara saja, kita dapat berbahagia walau sementara.
Mengapa?
Sebelum bersuarapun, kita harus dapatkan suara itu dengan tanggung jawab penuh. Proses penyadaran untuk mendapatkan suara itulah yang membuat kita harus banyak bersyukur.

Kesadaran membuat kita bahagia sekaligus menderita.
Bahagia karena kesadaran itu merupakan anugerah, yang mungkin tidak akan di dapat oleh setiap orang. Menderita karena ketika kesadaran itu kita dapatkan maka tidak ada pilihan lain selain kita laksanakan langkah selanjutnya, kecuali kita memilih menjadi pecundang yang tidak melakukan tapi hanya memikirkan. Itu semua pilihan.

Dan langit yang sama masih menaungi kita hari ini dan esok nanti..
Akankah kita masih punya kesadaran itu dan mau langkahkan kaki lebih jauh lagi? Terkadang kita serasa tak punya kesempatan untuk melangkah ketika masa bersorak-sorak kita telah usai.
Tidak, kawan. Meskipun masa bersorak-sorak kita telah lama berlalu, kita masih punya masa untuk tetap wujudkan apa yang pernah kita perjuangkan dulu. Kesempatan itu masih ada. Dan bukankah kita pernah katakan bahwa kesempatan itu bukan datang dengan sendirinya, kesempatan itu dapat kita buat sendiri.

Dan langit hari ini terasa cerah..
Ketika kesempatan itu sudah ada di depan kita dan kita melakukan langkah kaki kita terhadap perjuangan, sayup-sayup terdengar kembali sorak-sorak kita dulu. Masih sangat terbuka kesempatan untuk kita dapat wujudkan perjuangan kita, dimanapun kita berada saat ini. Atau hanya sebegitu kecil kah hatimu ketika tembok lembaga, institusi, dan perusahaan dapat membelenggu kita sehingga kita tak mungkin melangkah lagi?
Dimanapun kita berada, kita masih bisa tuk melangkah dan berjuang bersama. Tentang seberapa jauh kita melangkah, bukankah itu tak pernah kita pikirkan. Karena yang selalu harus kita pikirkan adalah hati untuk terus melangkah.

Rabu, 02 Maret 2011

The Seven for 24

"belajar lebih cerdas, bukan lebih keras."

"people will forget what you said,
people will forget what you did,
but people will never forget how you made them feel."

"Man needs to choose, not just accept his destiny."

"Give Thanks."

"Enjoy your own journey."

"Before taking any important decision in life, it is always good to do something slowly."

"Tuhan memberimu pelangi di setiap badai
Senyum di setiap air mata
Berkat di setiap cobaan
Lagu indah di setiap helaan nafas
Dan jawaban di setiap doa."


*thanks, my friends..
[p][y] God bless..