Sabtu, 07 Juli 2007

Orang Miskin vs Pendeta

Aku adalah orang miskin. Yang menderita sengsara dalam kerasnya hidup. Bukan aku yang memilih. Tetapi takdir ku telah berkata. Dan aku tak sanggup menolak. Aku tak bisa mengubah keadaanku. Aku tak bisa mengubah keadaan sekitarku. Aku hanya bisa menatap semu diriku. Sambil menertawakan apa yang ada disebelahku. Meringis kecil kala tersiksa. Pedih hati? Itu biasa. Mungkin itu salah satu kunci hidup para orang-orang miskin seperti diriku. Kalau tak kuat menghadapinya, lebih baik mati saja. Daripada bergumul dengan hati, lebih baik berjuang demi sebuah nilai nominal. Toh, aku tak hidup dari hatiku. Kalau bukan aku yang memikirkan diriku, siapa lagi. Banyak orang lalu lalang dari pandanganku tetapi tak seorangpun duduk bersamaku. Mereka tak peduli. Manusia tak peduli. Dunia tak peduli. Tuhan (pun mungkin) tak peduli. Kalau Tuhan peduli padaku, takkan mungkin aku dianggap layaknya seonggok daging basi di tengah jalan yang dihinggapi lalat-lalat. Hanya lalat. Karena hanya mereka yang mau bersamaku. Omong kosong. Orang bicara tentang Tuhan tetapi tak tahu dimana Dia. Lebih baik aku. Aku tahu dimana Tuhan. Tuhan tak jauh dari aku. Sayang Dia tak mau menghadap padaku. Atau barangkali aku yang membelakanginya. Tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana. Kapan.


Aku adalah Pendeta. Yang percaya bagaimana Tuhan telah menciptakan dunia ini. Beserta isinya. Termasuk manusia. Dan seperti aku ketika membuatkan teh untuk sahabatku. Aku buatkan teh terbaik untuk mereka. Dengan cangkir terbaik. Dengan pelayanan terbaik pula. Aku percaya Tuhan berikan yang terbaik pula untuk dunia ini. Beserta isinya. Tetapi karena masa lalu, kita harus menghadapi masalah hingga detik ini. Tak ada manusia tak bermasalah. Masalah seperti nafas. Yang takkan berhenti hingga mati. Dan ikut terkubur bersama raga ini. Tiap manusia berhak menentukan pilihan dalam hidupnya. Kadang ada yang benar, kadang ada yang salah. Kadang ada yang berhasil, kadang ada yang gagal. Kadang ada yang kuat, kadang ada yang terhempas. Tak menentu. Dan berhasil atau tidaknya, hanya akan diketahui pada saat jiwa meninggalkan raga. Karena di saat itulah kita telah mengakhiri apa yang kita jalani di dunia ini. Akhiri dengan keberhasilan, atau kegagalan. Maka dari itu, kusandarkan diriku pada Sang Pencipta. Karena hanya Dia yang menentukan keberhasilan ciptaannya. Tak mudah memang. Hidup sesuai aturanNya. Yang membuat kita tak mampu, dan terkadang menyerah. Tetapi inilah harga yang harus dibayar saat seseorang menentukan langkah. Langkah yang akan berhasil di garis finish. Tentunya dengan gelar sang juara. Takkan ada pecundang yang berhasil di garis akhir. Aku seperti itu. Dan aku ingin dunia ini seperti itu. Manusia seperti itu. Yang akan berhasil di akhir nanti. Yang mendapatkan segalanya dari Yang Ada. Bukan dari Yang Tidak Ada.

Tidak ada komentar: