Kamis, 18 Juli 2013

Manusia Tanpa (Peduli) Kelamin

Sedari kecil kita, setidaknya saya, sudah paham cerita tentang awal mula kehidupan. Dimana Adam hidup berpasangan dengan Hawa. Manusia pertama yang seorang laki-laki terlihat tidak baik kalau sendirian sehingga disandingkanlah dia dengan seorang perempuan yang sepadan. Manusia pertama yang berpasangan dengan pasangan yang diberikan penciptanya supaya mereka akan menjadi lebih baik, di mata sang pencipta. Semenjak mendengar cerita itu pula, sepertinya telah tertanam dalam hidup saya bahwa manusia diciptakan berpasangan, laki-laki dengan perempuan. Setidaknya sampai sekarang pun saya masih percaya.

Namun percaya bahwa penciptaan manusia secara berpasangan pun bukan berarti menjadikan berpasangan itu sebagai tujuan kita hidup. Bukan berarti kita hidup hanya untuk berpasangan saja. Entah mengapa, sebagian dari kita justru mematok bahwa milestone berpasangan itu menjadi kehidupan kita yang sebenarnya, kehidupan yang baru. Lihat saja ketika ada keluarga atau kawan yang menikah, pasti banyak ucapak pernikahan dengan kata-kata 'menempuh hidup baru'. Yang jadi pertanyaan, kehidupan baru macam apa sih yang akan dijalani? Kehidupan yang membosankan ketika sudah merasa memiliki pasangannya atau kehidupan yang menarik ketika semakin mengenal pasangannya, tentu dengan segala konsekuensi dari kata 'pasangan' seperti keluarga besar, pergaulan, budaya dll.

Ketika menginjak 'masa kawin', saat dimana umur kita (menurut pendapat umum sekitar kita) sudah menginjak waktu untuk menikah, pasti ada saja pertanyaan seperti
"Hai, a. Udah ada pacar belum? Kapan nikah?". Biasanya diajukan oleh temen atau kerabat yang sudah menikah.
"Kamu itu jangan mikirin karir terus. Buruan nikah lah, ntar keburu tua lho." Tante-tante temen mama yang ketemu saat liburan. Biasanya dijawab dengan senyuman, belum pernah dijawab dengan "Oiya, Tante. Anak Tante masih single?"
"Lo kapan nikah oi?! Keburu busuk menggantung tuh.. Hahaha.." Yang biasanya berani kaya gini sih pasti sohib bangsat yang sudah terjerumus dalam lembaga pernikahan. Suruh buruan kita nikah biar dia ada temen senasib.
Meski tahu niat mereka sebenarnya baik, namun sepertinya sedikit rumit ketika akan menjelaskan ketika belum ada pikiran untuk nikah sama sekali.

Setali tiga uang, ketika berteman pun terkadang sudah menjadi terdakwa. Saat baru berkenalan dengan orang baru seperti sudah terpatri di benak mereka seolah-olah mengenalnya hanya untuk memacari yang kemudian dilanjutkan dengan menikahi atau bercinta dengannya. Terlebih ketika berkenalan dengan sosok yang perbedaan umurnya agak jauh. Resmi itu, meski otak kita lurus-lurus aja, bisa jadi otak mereka udah aneh-aneh prasangkanya.

Memilih untuk belum menikah bukan berarti tidak akan menikah, kan? Kalau sampai saat ini tidak mempunyai niat untuk menikah bukan juga perlu dikasihani atau perlu dihakimi. Bahwa ada laki-laki dan perempuan pun benar adanya, namun tidaklah salah ketika pandangan saya masih berputar soal manusia, tanpa peduli kelamin mereka. Saat terindah adalah ketika kita bisa berbincang banyak dengan manusia lain tanpa ada motivasi tertentu. Hanya untuk berbincang, hanya untuk bertukar pikiran, hanya untuk menjalin persahabatan; dengan melihat sosok manusia nya saja.

Tidak ada komentar: