Reformasi. Kata itu yang aku pahami, kala itu, ketika terjadi demonstrasi besar-besaran, penjarahan dan pembakaran, yang berujung pada penurunan Pak Harto. Dan kata itu pula yang didengung-dengungkan sebagai solusi atas kerusakan dari rezim kala itu.
Dengung, tinggallah dengungan. Tanpa banyak arti, tanpa banyak perubahan mendasar.
Perubahan yang kurasa hanya lebih bebas. Entah darimana artinya bahwa demokrasi adalah kebebasan. Tapi itu yang terjadi sekarang..
Bebas mencuri, bebas korupsi, bebas menindas. Mungkin pengakuan hak atas diri inilah yang tidak diimbangi dengan pengakuan atas diri manusia disampingnya. Pencurian atas kemanusiaan.
Kebebasan menuntut, tanpa mau dituntut. Kebebasan beragama, tanpa peduli toleransi. Kebebasan mengemukakan pendapat, tanpa budaya kritis dan diskusi. Dan sepertinya tidak ada yang berani untuk mengatur negeri ini..
Keberanian yang harusnya dipakai oleh penguasa negeri ini malah hilang entah kemana. Mungkin hilang digunakan untuk menutupi apa ketakutan mereka yang lain. Ketika sang pengatur negeri harus dipangkas dalam tindakan, maka solusi termudah adalah dengan mengganti bagian terjelek dalam sistem. Layaknya membuang bagian kue yang sudah berjamur. Generasi yang telah hilang kesadaran diganti dengan generasi yang baru, yang belum punya kemauan untuk hilang kesadarannya. Namun, hal itu lagi-lagi hanya wacana. Yang ada, ketika generasi baru akan memberikan kebenarannya untuk berbuat sesuatu maka mereka lah yang akan dipangkas. Mereka dibuang jauh-jauh dari sistem pengatur negeri. Seorang dari generasi baru itu sempat berujar bahwa negeri ini sudah kacau, tidak ada kebenaran yang dapat ditegakkan untuk mengatur negeri ini. Tidak dapat digeneralisir, namun inilah kenyataan bahwa negeri ini sudah sangat jauh dari kebenaran.
Jadi, masih bisakah orang benar hidup di negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar